Berempati Kepada Pasangan Sebagai Sesama Pasien
Dokter cintaku ...Kau sembuhkan sakit ku dengan resep cintamu
Rasa kecewa yang dulu tiada terasa lagi
Dokter cintaku...Kelembutan sikapmu mengobati Lukaku
Rasa kecewa yang dulu tiada terasa lagi
Doter dokter cintaku engkaulah harapan
Dokter dokter cintaku engkaulah pujaan
Begitulah lirik lagu Dokter Cinta yang pernah dipopulerkan oleh Evie Tamala di tahun 90-an. Lagu ini sangat relate bagiku ketika masih pengantin baru. Di mataku, suamiku terlihat begitu baik. Bijaksana. Bisa diandalkan.
Aku menilai pernikahan adalah fase terbaik yang pernah aku alami sepanjang hidupku. Sejak kecil aku hidup dalam keluarga broken home yang banyak menyisakan trauma dan luka batin. Tapi perlakuan suami yang begitu baik padaku seperti obat penyembuh luka yang dianugerahkan Tuhan bagiku.
Ibarat pasien, aku melihat suamiku sebagai dokter yang mampu mengobati ku dalam segala aspek hidupku.
Namun, hubungan yang awalnya terasa hanya yang manis-manis nya saja itu, makin hari mulai bertemu dengan realita hidup yang tak selalu mudah.
Di tengah berbagai tantangan yang kami hadapi di sepanjang jalan, aku mulai bisa melihat bahwa pria ini tidaklah selalu bisa aku andalkan untuk mengatasi segala masalah. Sosok yang aku kira adalah “dokter" ternyata juga menunjukkan gejala-gejala bahwa ia adalah "pasien". Hanya jenis sakitnya aja yang berbeda.
Aku awalnya merasa marah dan kecewa saat menemukan titik-titik dimana dia lemah. Saat dia gagal dan mengecewakan. Saat pilihan dan tindakannya tidak menunjukkan kebijaksanaan. Saat karakter buruknya membuatku bingung.
Aku, yang merasa bahwa aku dulu sudah cukup selektif memilih suami, sempat merasa kecolongan. Ya Tuhan, apakah aku sudah salah pilih pasangan?
Rasanya aku tidak bisa menerima kekurangan yang aku temukan pada suamiku. Sesuatu yang bagiku harusnya sudah bisa dia perbaiki bila saja dia mau berusaha.
Namun seiring waktu aku mulai menyadari bahwa pasanganku juga mungkin membawa luka-luka batin dari masa lalu yang belum sepenuhnya pulih. Dan untuk memperbaiki diri memang tidak selalu mudah.
Ada saat-saat ketika aku begitu frustrasi dengan pasanganku. Aku berpikir, "Beginikah rasanya hidup dengan pria seperti ini?" Tapi kemudian aku bertanya pada diriku sendiri: "Bagaimana perasaan suamiku hidup dengan istri seperti aku?"
Saat aku kecewa, aku sering merasa bahwa aku adalah korban. Tapi bagaimana jika dia juga merasa sebagai korban? Bagaimana jika dia juga merasa terluka oleh sikapku?
Aku menyadari, kadang aku menuntut terlalu banyak dari pasanganku, untuk selalu sempurna, kuat, bijak, dan bisa diandalkan. Seolah aku lupa bahwa dia juga manusia, sama seperti aku yang penuh kekurangan.
Dari sinilah aku belajar bahwa pernikahan bukanlah soal mencari seseorang yang sempurna untuk membahagiakan kita. Tapi tentang dua manusia yang sama-sama tidak sempurna, sama-sama belajar mencintai, dan sama-sama butuh disembuhkan.
Saling Memulihkan Saling Menyempurnakan
Amsal 27:17 berkata, "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya."
Aku menyadari, pernikahan dengan segala pergumulannya, bisa menjadi sarana pemulihan, jika kita mau melihatnya dari sudut pandang yang tepat.
Sering kali kita berdoa agar Tuhan mengubah pasangan kita. Tapi ternyata, masalah yang muncul justru ditujukan untuk memperbaiki diri kita sendiri. Bisa jadi, saat Tuhan belum menjawab doaku tentang pasangan, karena justru akulah yang sedang ditarget untuk berubah.
Contohnya: saat aku berdoa agar suamiku segera mendapat pekerjaan. Bagi Tuhan, tentu hal itu mudah. Namun, persoalan itu dibiarkan untuk menguji hatiku, bagaimana aku memperlakukan orang yang (dalam pandanganku) tidak punya andil finansial. Apakah aku tetap bersikap baik? Atau aku jadi semena-mena?
Dan memang, aku belum sempurna. Aku masih belajar dan terus berjuang. Tapi aku bisa melihat bagaimana karakterku makin diperhalus dan batinku makin diperbaiki melalui tantangan-tantangan itu.
Aku kagum, bagaimana Tuhan seolah punya kurikulum pembelajaran khusus untuk hidupku. Setelah lulus satu pelajaran, lanjut ke pelajaran berikutnya. Hal-hal yang dulu kukira sudah benar, ternyata masih perlu diperbaiki lagi.
Menikah bukan tentang siapa yang paling banyak memberi atau menerima. Tapi tentang saling menopang saat sama-sama lelah, saling merawat saat sama-sama rapuh.
Empati Bukan Alasan Mentolerir Hubungan Toxic
Empati tidak berarti membiarkan dirimu terus-menerus berada dalam hubungan yang menyakitkan. Yang penuh manipulasi, kekerasan (fisik, verbal, maupun emosional), yang terus-menerus hingga membuat salah satu pihak kehilangan jati dirinya.
Pernikahan yang sehat tetap membutuhkan rasa aman, penghargaan, dan ruang untuk bertumbuh bersama. Kita bisa berempati, menerima ketidaksempurnaan, namun tetap menjaga diri agar tidak hilang dalam hubungan yang salah.
Karena pada akhirnya, cinta yang sehat adalah cinta yang saling menyembuhkan, bukan saling melukai.
Dokter yang sebenarnya adalah Tuhan.
Dialah yang menyatukan dua insan dalam pernikahan untuk saling memulihkan, untuk saling melengkapi, menopang, dan menguatkan.
Bukan untuk mencari siapa yang paling sakit, tapi agar keduanya fokus untuk pulih bersama.
Dan saat mereka saling tidak mengerti, Tuhan hadir sebagai Penuntun. Dia akan menolong jika setidaknya satu dari dua pasien itu datang menghadap dan bertanya, “Tuhan, apa yang seharusnya aku lakukan?” Akan lebih baik jika keduanya datang bersama.
Aku dan pasangan sebagai sesama pasien. Sama-sama sakit dan butuh pertolongan. Sebenarnya sama-sama tak layak untuk dicintai. Namun Tuhan mencintai kami masing-masing dengan sempurna. Sehingga dari kasih itu kami bisa belajar bagaimana sebaiknya mengasihi pasangan.
Mungkin dengan kekuatan kami sendiri, kami tidak bisa. Oleh karena itu, kami membutuhkan tuntunan dari Tuhan. Hanya kasih Tuhan-lah yang mampu mempersatukan dan memampukan kami untuk saling mencintai.
Berdiri teguh, menopang satu sama lain.
Berjalan bersama hingga akhir.
Menjadi teman seperjalanan menuju rumah Tuhan.
Saling menjaga, saling memulihkan, dan saling menyempurnakan.
“Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”
-Kolose 3:14