Darimana Datangnya Inner Critic dan Kebencian Terhadap Diri Sendiri?
"Dasar! Malu-maluin aja!"
Dengan mata melotot penuh amarah, si ibu mengucapkan perkataan tajam itu ke anaknya yang masih berusia 3 tahun. Dari tekanan suaranya yang berusaha dijaga tetap pelan itu aku bisa menakar tingkat kemarahan yang sedang bergemuruh di dadanya. Mungkin kalau di rumah udah dibentak kali tuh anak, tapi karena di depan umum, dia terpaksa menahan diri.
Jadi ceritanya saat itu, di sekolah Minggu, ada acara lomba 17 an. Perlombaan dibagi per kategori usia. Anak usia 3 tahunan lomba sortir warna mainan pom pom. Setiap anak diberikan satu gelas plastik berisi beberapa pom pom warna warni.
Cara bermainnya, pom pom itu harusnya dimasukkan ke mangkok sesuai warnanya. Anak-anak lain mengerti konsep permainannya dan mulai berlomba menyortir pom pom. Tapi anak ibu tadi tak mau memasukkan pom pom nya ke wadah sebagaimana aturan permainan.
Awalnya si ibu dengan sabar menjelaskan apa yang harus dilakukan si anak, agar pom pom warna merah dimasukkan ke wadah merah dan seterusnya. Tapi si anak tak melakukannya. Anak itu sepertinya sangat girang dikasih satu gelas isi pompom itu. Dia menatap kagum dan memegangi erat-erat mainan yang mungkin baru pertama kali dilihatnya itu.
Lomba sortir pom pom berakhir, anak lain meletakkan gelas pom pom dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Kecuali anak tadi, dia membawa gelasnya ke tempat duduknya.
Si ibu tampaknya mulai kehilangan kesabaran. Dengan suara setengah berbisik dia mendesak-desak anaknya untuk mengembalikan mainan itu. Mengatakan bahwa anak lain pinter-pinter nggak ada yang seperti dia, tapi bukannya nurut, anak itu malah nangis.
Walaupun para kakak sekolah Minggu bilang nggak apa kalau dia mau mainan itu, si ibu tampaknya begitu malu dan terganggu dengan perilaku anaknya. Dia terus-terusan mendesak sambil melotot ke anaknya untuk mengembalikan nya . Anak itu mungkin jadi takut melihat ekspresi marah yang menyeramkan di wajah ibunya. Hasilnya tangis anak itu makin keras. Si ibu makin frustasi demikian juga anaknya.
Sebagai seorang ibu yang juga sering berjuang dengan batas kesabaran, aku bisa mengerti apa yang dirasakan wanita itu. Tapi aku juga kasihan pada anak kecil itu karena aku paham di usia segitu dia belum mengerti apa yang dia lakukan.
Menurutku sebaiknya sang ibu tadinya tak perlu terlalu membesar-besarkan masalah itu. Biarin aja sih anaknya menikmati moment memegang mainan pom pom. Tak perlu juga berkata bahwa anak itu malu-maluin. Anak kecil yang belum mengerti konsep lompa sortir pom pom bukan sesuatu yang malu-maluin juga kan? Si ibu menuntut anak umur 3 tahun itu untuk langsung punya pengertian seperti orang dewasa.
Dalam bukunya yang berjudul Complex PTSD from Surviving to Thriving, Pete Walker membahas tentang trauma masa kecil yang pada umumnya berasal dari pola pengasuhan yang salah oleh orang tua atau pengasuh si anak di tahun-tahun awal kehidupannya. Pola pengasuhan yang bersifat abusive (secara verbal/ fisik/ seksual) dan yang mengabaikan kebutuhan emosional seorang anak mengakibatkan anak itu merasa diri tak berharga dan tak layak untuk dicintai.
Orang yang mengalami trauma dari pengasuhan yang salah di masa kecilnya akan berjuang dengan kritik dari dalam diri sendiri yang disebut inner critics. Kritik yang bisa begitu kejam dan merugikan dirinya sendiri.
Pete Walker menjelaskan sumber inner critic tersebut sebagai berikut:
“Kritik yang tak henti-hentinya, terutama jika disertai dengan kemarahan dan cacian orang tua, akan sangat berbahaya karena dapat mengubah struktur otak anak.
Pesan-pesan penghinaan yang berulang-ulang diinternalisasi dan diadopsi oleh anak, yang pada akhirnya mengulanginya lagi dan lagi pada dirinya sendiri. Pengulangan tak henti-hentinya mengakibatkan terbentuknya jalur saraf yang tebal berupa kebencian dan rasa jijik pada diri sendiri. Seiring waktu, respons kebencian pada diri sendiri semakin melekat pada pikiran, perasaan, dan perilaku anak.”
Anak yang sering dikritik dan dihina akan berpikir bahwa ada yang salah dengan dirinya. Dia berusaha keras untuk melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan cinta dan persetujuan dari orangtuanya. Namun di sisi lain kritik dari dalam dirinya sendiri itu membuatnya merasa tak pernah cukup baik sekuat apapun dia telah berusaha.
Misalnya saat orangtua seperti si ibu di sekolah Minggu tadi sering berucap bahwa tindakan anaknya malu-maluin, bahwa dia bodoh tidak seperti anak lain, maka suara-suara itu akan tertanam dalam sanubarinya dan membentuk suatu keyakinan secara alam bawah sadar.
Mungkin oleh orangtua nya kritikan itu dianggap sebagai upaya perbaikan demi kemajuan anak. Biar anaknya bertumbuh baik dan sukses di masa depan. Tapi karena caranya salah, bukannya membangun malah menghancurkan harga diri si anak.
Anak yang punya persepsi negative terhadap dirinya sendiri mungkin bertumbuh jadi anak yang minder, ragu-ragu, takut gagal, membandingkan diri dengan orang lain dan cemas pada penilaian orang lain. Hal-hal yang malah bisa menghambat kemajuan si anak dalam kehidupannya.
Karena udah minder duluan, udah takut gagal duluan, si anak ini malah tak berani bertindak mencapai apa yang dia cita-citakan.
Beberapa waktu belakangan aku sering dengar podcast tentang trauma masa kecil. Banyak yang berkomentar dan membagikan bagaimana trauma yang mereka alami ternyata bersumber dari pola pengasuhan ibu yang kurang baik.
Ibu-ibu yang pada umumnya sudah berkorban begitu besar demi anak-anaknya tentu tak pernah bermaksud membuat anaknya menderita. Mungkin dia berkata tajam atau bersikap kasar pada anaknya saking beratnya beban yang harus dia tanggung.
Namun bila semua hal yang dianggap sebagai pengorbanan itu ternyata malah bikin anak jadi trauma, bukankah itu terdengar tidak adil? Yang harusnya dia dianggap sebagai hero, tapi malah dianggap sebagai bandit nya.
Menyadari hal itu, aku pikir kita sebagai para ibu perlu bersikap lebih bijaksana. Merenungkan apakah perkataan dan tindakan kita sudah tepat atau belum. Sambil mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pola pengasuhan kita terhadap hidup anak selanjutnya.
Memang tidak mudah…aku juga masih terus belajar. Yuk bisa yuk..