Monday, August 14, 2023

Healing dengan Menulis

Writing for healing

Akhir-akhir ini istilah healing sedang marak digunakan di sosial media saat seseorang sedang melakukan suatu aktivitas yang memberikan manfaat relaksasi. 

Healing yang artinya penyembuhan ini biasanya digunakan menyangkut penyembuhan jiwa, pikiran, perasaan dan batin yang terluka.

Seorang mahasiswa yang sedang pusing dengan tumpukan tugas kuliah berkata, "Aduh butuh healing nih!"

Saat seorang Ibu rumah tangga sedang   jalan-jalan bersama teman-temannya, menuliskan caption di sosial medianya, "Healing dulu kita!"

Bahkan saat rekan kerja ngajakin aku jalan-jalan, ngajakin dengan ngomong, "Yuk kita healing-healing yuk!"

Kesannya seolah healing hanya dilakukan dengan cara bepergian ke suatu tempat.

Namun, apakah healing hanya dapat dilakukan dengan rekreasi ke suatu tempat dan harus keluar dari rutinitas? Bagaimana bila seseorang sedang stress, pusing dan galau tapi tak punya waktu atau tak punya duit? Apakah harus menahankan saja segala beban hidup itu?

Kali ini aku mau share satu hal yang bisa kamu lakukan untuk healing. Sangat mudah, murah bahkan gratis dan khasiatnya cukup ampuh. Aku sudah  lakukan hal ini sejak beberapa tahun lalu.

Saat itu aku pikir apa yang aku lakukan hanya sekedar hobi. Belakangan aku tau ternyata itu bisa juga sebagai cara untuk healing. 

Beberapa waktu yang lalu aku dengar kisah beberapa orang yang pernah mengalami depresi. Mereka bercerita bahwa hal itu menjadi salah satu cara terapi yang disarankan oleh psikiater. 

Apakah itu? Menulis. Yah healing dengan menulis. Ternyata hal itu memang baik untuk kesehatan mental. 

Menulis dalam hal ini disebut menulis ekpresif (Expressive Writing). Menulis ekpresif dapat membantu seseorang untuk memahami dirinya dengan lebih baik, dalam menghadapi depresi, stress, kecemasan, adiksi, ketakutan terhadap penyakit, kehilangan, serta perubahan dalam kehidupannya.

Menurut pengalamanku, ada kalanya aku merasa sedang gelisah, pikiran kacau oleh banyak hal yang terasa menyesaki dada. Ada rasa terluka, marah, sedih, kecewa, malu, takut, putus asa, namun aku sendiri kadang sulit untuk mendeskripsikan perasaanku. 

Saat aku ingin bercerita ke orang lain, kadang juga aku tak menemukan orang yang tepat untuk diajak curhat. Orang yang bisa memahami perasaanku, yang cukup peduli untuk mendengarkan keluh kesah dan yang bisa dipercaya untuk menjaga kerahasiaan ceritaku.

Curhat pada orang yang tidak tepat selain tidak memberikan respon yang tepat juga malah bisa bikin kesal dan menyesal, kenapa ya tadi harus cerita pada orang ini? Jadi seperti menambahi beban pikiran yang tadinya udah berat.

Namun, masalah yang dipendam dan beban yang dipikul sendiri bisa membuat pikiran menjadi lelah dan memengaruhi kesehatanku. Jadi aku memilih bercerita pada diriku sendiri dengan menuliskan curahan hatiku.

Aku biasa menulis jurnal harian mengenai berbagai hal yang aku alami sehari-hari. Hal yang aku rasakan, yang bikin aku happy, yang bikin aku sedih, apa yang aku harapkan, masalah yang memenuhi pikiranku, pelajaran atau hikmah yang aku dapatkan dari suatu peristiwa dan berbagai hal lain yang terlintas di pikiran. 

Dengan menulis aku bisa mengekspresikan perasaanku dengan lebih jelas dan aman tanpa harus ada bagian yang ditutup-tutupi. Aku bebas menuliskan semua perasaan, semua emosi dan segala hal dalam pikiranku. Kalau cerita ke orang lain, mungkin aku merasa malu atau takut dinilai negatif. 

Saat pikiran lagi pusing karena banyak masalah, menulis rasanya seperti memindahkan banyak masalah-masalah yang lagi berkumpul di pikiranku ke media tulis. Bisa di gadget atau di kertas. 

Setelah ditulis, pikiran jadi lebih plong. Aku pun bisa lebih memahami perasaanku dan bisa melihat dengan lebih jelas apa aja sebenarnya masalahnya.

Kalau cuma disimpan di pikiran, pikiran jadi ruwet dan masalah tampaknya jadi makin rumit. 

Saat udah ditulis di kertas, aku bisa lihat dengan jelas “Oh masalahnya begini toh..!, Oh, aku kesalnya karena ini” Aku jadi bisa melihat masalah itu dari sudut pandang yang lebih luas, dari sudut pandang yang lebih netral.

Setelah melihat masalah dengan lebih jelas aku pun mulai memeriksa batinku sendiri, mengapa ya aku merasakan hal tersebut, mengapa aku tersinggung saat dia berkata begitu? Mengapa aku malu? Apa yang seharusnya aku lakukan untuk mengatasinya. 

Rasanya suasana hatiku jadi lebih tertata, beban perlahan berkurang dan stress mereda. Biasanya setelah itu aku mendapatkan pencerahan seperti suara batin yang sedang berbicara menasehati, menguatkan, menyemangati dan menghibur diriku sendiri. 

Setelah itu aku merasa lebih kuat untuk melanjutkan perjalanan hidup.

Jadi menurutku kegiatan menulis ini sangat bermanfaat.

Bila saat ini kamu sedang banyak pikiran, hati gelisah, merasa butuh healing tapi tak tau harus ke siapa dan tak tau harus kemana, mungkin ada baiknya kamu coba cara ini. 

Menulislah untuk diri sendiri. Tuliskan semua perasaan dan pemikiran terdalam kamu dengan jujur. Apa adanya saja. Berceritalah pada dirimu dan jadilah sahabat untuk dirimu sendiri.

Kamu akan merasa lebih mudah memahami diri sendiri, apa yang kau rasakan, apa yang menjadi kerinduan, apa yang menjadi kekuatiranmu. Dan kamu juga menjadi orang pertama yang memberi dukungan pada dirimu untuk tetap berdiri tegap di tengah badai.

Tidak perlu ribet dengan tata bahasa, ejaan, dan semua aturan penulisan yang ada. Yang paling penting kamu bisa melepaskan beban pikiran kamu dan mendeskripsikan apa yang kamu rasakan dalam bentuk tulisan. 

Mulailah menulis dengan rutin. Luangkan waktu untuk menulis secara rutin 10-15 menit saja setiap hari dan rasakan perbedaannya. 

Seperti kata Leon Brown, "Healing is not an overnight process; it is a daily cleansing of pain; it is a daily healing of your life."

No comments:

Post a Comment

Pelajaran untuk Tidak Mudah Menghakimi Orang Lain

(sumber: Unsplash)   “Abang udah tau belum berita tentang si X ini? Ternyata dia yang selingkuh tapi malah menuduh istrinya selingkuh. I...