En.dur.ance (noun) the power to withstand pain or hardships the ability or strength to continue despite fatigue, stress or other adverse conditions.
Banyak faktor yang membuatku memiliki keinginan yang kuat untuk kuliah lagi. Faktor pertama adalah untuk memperbesar peluang untuk karir yang lebih baik. Seperti isi buku-buku bernada self development yang sering kubaca, untuk bisa menikmati hidup yang berkelimpahan adalah dengan mengisinya dengan pertumbuhan kualitas. Semakin hari semakin berkualitas. Tidak pernah berhenti belajar dan terus mengasah diri sehingga tidak tergerus oleh arus zaman yang mengalir semakin deras. Hal ini membuatku ingin sekali kuliah lagi, di kampus yang tepat dan di dalam jurusan yang tepat. Berbagai informasi mengenai kampus-kampus yang tersedia di seantero Jakarta sudah sering kubaca melalui internet dan tak ketinggalan juga acara nanya-nanya ke teman-teman yang ada.
Berbeda dengan acara kuliah sebelumnya di Cikarang, dimana aku benar-benar niat kuliah, apa pun jurusannya dan apa pun kampusnya, kali ini aku mulai sedikit lebih selektif. Pekerjaanku sudah mendingan dan aku kuliah untuk tujuan murni mengasah otak bukan untuk menyelamatkan diri dari penjara bekerja sebagai buruh pabrik lagi seperti sebelumnya. Berhubung aku tadinya lulusan D3 jurusan Komputer Akuntansi, pilihan tercepat dan termudah adalah melanjutkan ke S1 Akuntansi atau sedikit agak mendekati adalah jurusan manajemen-manajemen. Aku mempertimbangkan umur, biaya dan waktu untuk itu dan merasa lumayan bingung karena sebenarnya aku tidak pernah terlalu menyukai jurusan Akuntansi. Bila selama di kampus di Cikarang aku bisa bersemangat 45 untuk kuliah, itu bukan karena aku minat di bidang itu. Hanya karena aku memang ingin sekali kuliah, apapun yang penting judulnya kuliah. Yang kuinginkan sebenarnya adalah jurusan psikologi. Namun aku harus memulai dari awal bila ingin mengambil jurusan tersebut. Aku ingin sekali melanjutkan S1 hanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Beberapa teman sangat membantuku dalam mengambil keputusan pada akhirnya. Salah satunya adalah Eva teman kuliahku di Cikarang yang juga teman kerjaku di SPM yang sudah kuliah lagi melanjutkan S1 di salah satu kampus swasta di Jakarta. Dia memberikanku dorongan dan motivasi untuk melanjutkan kuliah ke jenjang S1. Aku suka melihat caranya yang terlihat enjoy walaupun jadwalnya yang saat ini sibuk bekerja masih ditambah dengan acara kuliah. Dia menjalani hari-hari seperti tiada beban dan dia selalu memberikanku informasi-informasi mengenai kampus-kampus yang dia ketahui. Bertukar pikiran dengannya lumayan membuka pikiranku. Ada juga seorang rekan kerja di BLT yang sering sekali menyarankanku untuk melanjutkan kuliah lagi. Dari pertama aku berurusan dengan beliau, hal itu adalah hal pertama yang dia tanyakan dan sarankan. Beliau juga memberikanku banyak informasi mengenai kampus-kampus yang layak untuk mendaftar. Beliau juga saat itu sedang mengambil kuliah S3. Jadi bukan hanya omong kosong doang. Dia pasti menyadari sepenuhnya makna dan arti dari berkuliah untuk mempercerah masa depannya.
Saat itu, aku sulit mengambil keputusan untuk kuliah di mana. Tentunya aku ingin mengambil kelas karyawan yang banyak tersedia di kampus-kampus di Jakarta. Di satu kampus yang waktu dan jadwal kuliahnya tidak begitu menyita waktu, namun biayanya lumayan menyita gaji. Di kampus lain, biayanya lumayan ringan, dan bisa dibayarkan tanpa membuatmu ingin berpikir 10 kali, tapi kekurangannya adalah waktu kuliahnya adalah sekitar jam 5 sore atau jam 6 sore setiap hari kerja. Sungguh tidak bisa membayangkan diriku menjalani perkuliahan model begitu lagi. Aku dulu seperti itu ketika masih di kampus Cikarang dan kuakui, itu sungguh sistem belajar yang tidak efektif. Semua materi perkuliahan yang kuterima di kampus tak pernah bertahan lama di kepalaku. Terlalu lelah, lapar dan mengantuk sehabis kerja keras tentu saja bukan merupakan kondisi ladang yang siap ditabur benih pengetahuan.
Ahirnya setelah pertimbangan yang matang, Sekitar pertengahan 2013, aku memutuskan untuk kuliah di UMB dimana Eva juga sudah berkuliah lebih dahulu. Aku memutuskan untuk melanjutkan jurusan S1 Akuntansi saja untuk mempercepat proses perkuliahan. Melihat Eva yang santai dengan kuliahnya selama ini membuatku merasa tak perlu terlalu pusing juga. Aku pun mendaftarkan diri di kampus itu dan perjuangan pun di mulai.
Ternyata sesuatu yang terlihat mudah di luar belum tentu mudah kenyataannya. Bila aku melihat Eva begitu santai menjalani hari-hari bekerja dan berkuliah di tempat itu, ternyata suasana santai itu tidak berlaku bagiku. Aku sungguh menyukai minggu pertama perkuliahanku dimana semua dosen hanya menyampaikan wejangan motivasi kepada kami setelah selesai acara perkenalan-perkenalan. Dan minggu berikutnya, keluarlah sifat asli dosen-dosen itu. Mereka mengeluarkan perbendaharaan tugas untuk dikerjakan setiap minggu oleh para mahasiswa. Awal kuliah, aku masih berusaha mengerjakan tugas-tugas itu, namun makin kesini, rasa kewalahan tak dapat terbendung. Tugas-tugas menumpuk dan aku bingung bagaimana bisa hal itu bisa menjadi begitu berat untuk dilakukan.
Jadwal kuliah untuk program kelas karyawan di UMB itu lumayan ringan sebenarnya. Hanya berlaku di hari Sabtu Minggu dengan masing-masing hari terdiri dari 2 mata kuliah. Mulai siang jam 1.30 p.m. sampai jam 6.30 p.m. di sore hari. Dan ada 2 mata kuliah yang bisa dilakukan secara online saja tanpa harus menghadiri kelas di kampus. Namanya adalah E-learning. Bisa diakses kapan saja dan di mana saja dan pertemuan tatap muka hanya beberapa kali dalam sebulan. Sungguh memberikan kemudahan dan keringanan ditengah kesibukan bekerja juga. Lumayan membantu. Mungkin karena berbagai kemudahan itu, kampus itu diserbu begitu banyak mahasiswa baru dan mereka mulai melebarkan sayap membuka banyak cabang di banyak daerah. Pusatnya ada di Meruya, Jakarta Barat, namun aku memilih yang cabang di Menteng yang lebih dekat ke kosanku.
Di kampus baru itu aku menemukan banyak teman-teman baru dan suasana baru. Mayoritas mahasiswa di kelas karyawan itu adalah para karyawan. Ya iyalah! Namanya juga kelas karyawan 😀. Mereka kebanyakan sudah bekerja di perkantoran-perkantoran seantero Jakarta. Sama denganku, mereka memiliki pekerjaan juga yang harus dipikirkan selain urusan kampus. Walaupun jadwal kuliah di kampus itu lumayan ringan dan sebentar saja, tidak demikian dengan tugas-tugas yang diberikan para dosen. Sepertinya dosen-dosen di situ telah bersekongkol untuk membuat acara perkuliahan kami sebagai mahasiswa kelas karyawan menjadi lebih serius dan berat. Untuk semester pertama itu kami mendapatkan 6 mata kuliah yang bobotnya adalah 18 sks. Dari 6 mata kuliah itu ada 6 dosennya juga. Dan ke 6 dosen itu sama saja sifatnya. Mereka suka memberikan tugas tiap akhir jam kuliah. Setiap kali pertemuan. Dan hari-hariku selanjutnya dipenuhi oleh tumpukan tugas-tugas. Aku kewalahan dan merasa kacau untuk sementara waktu. Bukan saja soal tugas-tugas yang menumpuk itu, namun soal biaya kuliah yang semula kukira tidak akan terlalu berat ternyata bisa menjadi berat juga. Apalagi saat menjelang ujian, dimana biaya kuliah dari bulan sekian sampai bulan sekian harus terlunasi.
Di tengah kekacauan itu, aku sempat berpikir ulang. Sepertinya bukan ini kondisi yang kuinginkan. Aku mencari-cari alasan yang tepat untuk berhenti kuliah. Namun aku tak menemukan satu alasan pun yang mendukungku untuk melakukannya. Aku mencari alasan lain. Yah, Akuntansi bukanlah bidangku. Aku sangat tidak tertarik membaca buku apapun yang di dalamnya ada tulisan soal Akuntansi. Aku harus pindah jurusan. Aku harus mengikuti kata hatiku untuk kuliah di jurusan psikologi. Aku berusaha keras untuk meyakinkan diri bahwa ini merupakan saat yang tepat untuk mulai dari awal melakukan apa yang kuinginkan. Namun pikiran warasku lagi-lagi mengingatkanku. Ini bukan soal jurusan Akuntansi atau Psikologi. Ini soal kerja keras dan tekad yang kuat untuk tetap melangkah maju. Namanya kuliah, harus belajar. Mau Akuntansi atau apapun jurusannya pasti akan dijejali oleh berbagai tugas dan apakah aku harus selalu pindah jurusan saat tugas sedang menumpuk? Tentu saja itu aneh. Dan aku juga mikir lagi, bila aku mengambil jurusan psikologi, yang ada aku akan mulai dari awal dan akan lebih lama tinggal di kampus itu yang artinya akan menghabiskan lebih besar biaya. Bicara soal biaya, aku yang lumayan hemat ini tentu tak rela. Aku ingin kuliah dan lulus segera dan segera melanglang buana.
Aku sempat berkonsultasi pada Evi, seorang sahabat yang sering kuandalkan sebagai teman curhat. Namun Evi justru menceritakan bagaimana dia masuk kuliah dan keluar dan masuk kuliah lagi dan keluar lagi tanpa pernah menyelesaikan satu pun. Tentu bukan contoh yang baik untuk di tiru. Dan aku tak ingin menirunya. Akhirnya aku putuskan untuk memperbesar semangat berjuangku untuk menyelesaikan tugas-tugasku dan satu hal aku sangat terhibur setiap kali bertemu dan berkumpul dengan teman-teman kuliahku. Mereka semua juga merasakan apa yang kurasakan. Lelah, bingung dan kacau dalam membagi waktu dan dana. Dan mereka tetap hadir di kampus dan membawa semua kesulitan itu ke dalam bentuk canda. Mereka membuatku bersemangat kembali dan bisa tersenyum di tengah kegalauan. Mereka juga sangat membantu dan baik hati. Setiap kali aku tidak mampu menyelesaikan suatu tugas, mereka dengan rela hati menjelaskanku hal-hal yang aku tidak mengerti.
Salah satu nasehat juga yang kudapat dari adikku adalah bahwa aku harus tetap berjuang untuk menyelesaikan kuliahku saat ini, mumpung aku masih muda, masih ada kesempatan, masih ada biaya, masih ada kesehatan. Belum tentu nanti akan ada lagi kesempatan yang seperti ini. Dia menambahkan dengan menceritakan kisah seorang kakek yang bercita-cita untuk meraih sesuatu tapi tidak pernah memulai melakukan usaha. Akhirnya di hari tua si kakek itu, dia dipenuhi oleh penyesalan-penyesalan seandainya dulu begini, seandainya dulu begitu. Tapi penyesalan di hari tua itu, apakah ada gunanya lagi? Tentu saja tidak. Demi mendengar kisah itu, aku pun memutuskan untuk tetap bertahan dan berusaha. Aku tak ingin menyesal di hari tua ku.
Karena suatu hal aku terpaksa cuti pada semester akhir. Aku lanjutkan lagi pada awal 2016 dan saat itu aku mulai membuat skripsi. Proses pembuatan skripsi sampai sidang dan mendaftar untuk wisuda bukanlah perkara mudah. Membagi waktu antara pekerjaan yang lagi sibuk-sibuknya dengan perkuliahan yang juga sibuk mengingat aku harus bolak-balik Bekasi dan Meruya untuk bimbingan skripsi. Belum lagi harus memikirkan biaya yang besar untuk ini itu. Tapi proses ini mengajarkanku arti dari endurance. Daya tahan. Banyak kali aku ingin menyerah tapi daya tahan yang muncul membuatku terus berjuang dan berusaha menyelesaikannya. Akhirnya pertengahan Agustus aku selesai sidang skripsi dan dinyatakan lulus, akhir Desember aku wisuda. Bersyukur bisa lulus dan diberikan kekuatan dan kesempatan untuk menyelesaikan apa yang telah aku mulai.
No comments:
Post a Comment