It is not because things are difficult that we do not
dare it is because we do not dare that they are difficult – Seneca
Pilihan untuk terlahir di keluarga kaya atau miskin bukanlah sesuatu yang bisa kita kendalikan, begitupun terlahir dalam keluarga yang harmonis atau broken home. Dan aku baru menyadari bahwa aku terlahir dari kedua tipe keluarga tersebut. Lahir di dalam keluarga dengan kondisi ekonomi terlalu pas-pasan alias miskin dan dari sepasang suami istri yang tak akur. Aku menyadari hal itu setelah mulai tumbuh remaja dan menginginkan banyak sekali hal dan harus berhenti di tahap menginginkan tanpa sanggup memiliki karena keterbatasan ekonomi. Aku terlahir sebagai anak ke 4 dari 7 bersaudara. Pada saat aku duduk di bangku SD kelas 6, ayahku pergi meninggalkan kami, aku, ibuku, dan 6 saudaraku. Entah kemana dia pergi. Aku tak tau dan tidak begitu tertarik untuk mau tau. Karena hal itu sangatlah mengecewakanku. Aku beruntung karena ibuku adalah seorang wanita tangguh dan perkasa yang sangat kusayangi dan kubanggakan. Beliau dengan ketabahan dan kesabaran ekstra tinggi merupakan satu-satunya tulang punggung keluarga yang harus menanggung kehidupan kami anak-anaknya yang pada saat itu masih kecil-kecil dan berstatus pelajar baik di SD, SMP maupun SMA.
Saat menginjak SMA, seperti halnya gadis remaja pada umumnya, aku merasa perlu untuk mengikuti segala perkembangan zaman terutama mode-mode pakaian terbaru yang lagi trend di antara teman-teman yang lain, mencari warna dan keinginan yang kuat untuk diakui oleh lingkungan. Lagi-lagi, kehidupan keluarga yang pas-pasan membuatku merasa hal itu seperti keinginan yang terlalu sombong. Menjadi tukang cuci baju tetangga dan membawa kue-kue untuk dijual ke sekolah adalah beberapa usaha yang mau tidak mau harus kulakukan untuk bisa menambah uang sekolah atau sekedar membeli buku-buku pelajaran.
Selulus dari SMA, satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah kuliah dan mendapatkan skill yang lebih baik untuk layak mendapatkan karir yang lebih baik juga. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tentunya juga untuk membahagiakan ibuku yang sudah berjuang begitu keras untuk mempertahankanku tetap sekolah, tetap bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan. Mengingat kondisi keluarga yang tak bisa dikatakan memadai, membuatku harus memendam keinginan untuk kuliah, sedalam mungkin untuk tidak perlu menyakiti hatiku lagi bila tiba-tiba ia muncul ke permukaan. Kalo pake istilah tingkat/piramid kebutuhan bagi keluargaku pada waktu itu adalah : makan dan minum sebagai kebutuhan Primer (semua orang juga, sih), sekolah SD, SMP sampe SMA kebutuhan sekunder dan Kuliah seperti kebutuhan Tersier. Dan untuk sampe lulus SMA aja sudah merupakan suatu anugrah tak terhingga dari Tuhan.
Sebagai bentuk tanggung jawab kepada orang tua dan diriku sendiri, lulus SMA adalah saat dimana hidup harus produktif dalam arti menghasilkan pendapatan sendiri. Aku tak bisa tinggal diam dan membiarkan ibuku berjuang sendiri. Tak lama setelah meraih izasah SMA aku pun merantau ke Jakarta. Berdasarkan rekomendasi dari family yang sudah berdomisili di Jakarta, daerah itu adalah gudang yang tepat untuk menemukan pengalaman kerja yang lebih baik, lebih banyak penghasilan dan lebih banyak peluang. Selama proses pencarian kerja di Jakarta, modal ijazah SMA membuatku tak memiliki banyak pilihan, bekerja di kantoran dengan gaji yang memprihatinkan? Yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan primer pun terasa sulit. Satu-satunya pilihan yang termudah dan terbaik untuk bekerja yang bertujuan untuk mencari uang adalah di pabrik. Dan untungnya aku mendapatkan pekerjaan di sebuah sebuah pabrik yang cukup murah hati dengan sistem over time hampir setiap hari dalam sebulan. Memberikan upah yang setimpal dengan kerja rodiku dan cukup untuk membantuku memenuhi kebutuhan hidup di perantauan dan masih sanggup membuat ibuku bernafas lega untuk sementara di sana di kampung halamanku dengan sedikit kucuran dana yang bisa kukirimkan.
Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perakitan komponen elektronik di suatu kawasan industry di daerah Cikarang. Dengan status awal sebagai karyawan kontrak dan tak ada kejelasan informasi kapan akan dijadikan karyawan tetap. Namun kombinasi antara kebodohan dan kebutuhan hidup membuatku tak punya banyak pilihan selain menerima saja keadaan itu. Bekerja siang dan malam dengan sistem shift dan lembur membuatku terkadang harus berada 12 jam bahkan lebih di pabrik dengan sistem bekerja berdiri di tempat . Tak sempat membayangkan apapun. Aku bahkan tak sempat mengeluh kelelahan.
Kekuatan utamaku bertahan adalah membayangkan wajah ibuku yang hitam dan kurus yang sedang bingung dan seperti kehabisan akal untuk menafkahi adik-adikku (note : adik-adikku masih ada 3 orang yang masih sekolah dan harus dibiayai), wajah adikku yang cowok, yang kurus dan hitam yang duduk di SMU dengan semangat belajar yang super tinggi plus prestasi akademik gemilangnya, wajah adikku yang cowok yang satu lagi yang kurus juga tapi nggak hitam, wajah adikku yang cewek yang cantik dan kurus juga yang selalu senang/excited menerima pemberian sekecil apapun dariku. Aku baru sadar kalau seluruh anggota keluargaku bertubuh kurus.
Aku mulai mendedikasikan diri untuk membantu mereka dan berusaha untuk melupakan semua keinginan untuk kuliah. Namun keinginan untuk kuliah menderaku tiada henti. Aku memiliki banyak sekali hal yang ingin kulakukan dan aku tak suka terbelenggu dengan keterbatasanku. Entahlah, aku tak tau itu mengapa bisa terjadi. Mengapa orang atau teman-teman seprofesiku yang lain tidak mempermasalahkan kondisi begitu? Mereka bahkan heran dengan keinginanku yang kuat untuk kuliah. Terkadang aku merasa bahwa aku tak bisa menikmati hidup dengan keinginan yang tidak realistis, terkadang aku merasa aku orang yang tidak mengenal istilah bersyukur. Aku sudah berusaha bersyukur atas segala hal yang sudah dianugrahkan oleh Tuhan kepadaku, namun, lagi-lagi, aku yakin, ini bukan mengenai bersyukur atau tidak. Hal ini adalah berani atau tidak. Aku menemukan terlalu banyak kekuatiran dan ketakutan. Takut kalau aku kuliah dan tak sanggup membiayai sendiri, takut bila sewaktu-waktu habis kontrak kerja dan terpaksa kuliah berakhir di tengah jalan, takut melihat biaya awal masuk kuliah yang mampu membuatku tercekat saking mahalnya dan ketakutan-ketakutan lainnya. Namun bagaimanapun tak bisa dipungkiri, setiap kali mendengar kata kampus, mahasiswa, anak kuliah, dosen dll, membuat darahku mendidih inside. Aku tau aku menginginkannya sangat.
Berbagai tantangan dan kebutuhan hidup yang tak terelakkan dan perkiraan biaya kuliah yang juga tak main-main membuatku semakin lama semakin larut dalam keputusasaan. Tak ada dukungan dari manapun, teman-teman yang ada bukannya memberikan solusi tapi lebih suka menertawakanku dan orang tua dan keluarga yang hanya menasihatkan untuk realistis. Realistis? Apakah ralistis itu sama dengan pasrah? Aku tak bisa menerimanya. Melihat orang-orang lain yang memiliki keadaan yang sama yang sepertinya enjoy saja, sangat membuatku merasa heran dan berpikir mungkin ada yang salah denganku. Apakah aku menginginkan terlalu banyak hal?
Melalui 3 tahun pertamaku bekerja, aku tiba pada saat tak punya arah lagi. Melakukan pekerjaan yang semakin lama membosankan dengan kondisi sebagai buruh dengan no bargaining power. Akhirnya aku bertekad untuk kuliah. Pada suatu malam aku membaca buku karangan David J. Schwartz yang berjudul “Berpikir dan Berjiwa Besar” (The Magic of Thinking Big). Aku membaca buku itu dari malam sampai pagi tak tertidur sama sekali. Aku benar-benar merasa mendapatkan apa yang kuinginkan.
“Believe it can be done. When you believe something can be done, your mind will find the ways to do it. Believing a solution pays the way to solution.” - David J. Schwartz
Di dalam buku disebutkan bahwa semua hal yang kita inginkan bila kita percaya dan yakin, kita pasti bisa melakukannya dan masih banyak bagian-bagian pendukung dalam buku itu yang membuatku merasa seperti dibangunkan dan disadarkan. Aku merenungi isi buku itu dan berusaha untuk menanam keyakinan bahwa kuliah itu bukan suatu hal yang mustahil untuk terjadi. Aku mulai memikirkan hal-hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan keinginan itu. Memikirkan kira-kira hal apa yang mungkin akan menghalangi, tantanggan yang mungkin akan muncul di depan, namun, aku tak menemukan alasan mengapa hal itu mustahil. Aku menyadari hal itu memang tak akan segampang isi buku yang kubaca, tak segampang membalik telapak tangan, tapi aku merasa cukup siap dengan semua tantangan yang mungkin akan muncul itu. Akhirnya akupun memutuskan untuk kuliah. Apapun yang terjadi. Mulai mencari informasi sebanyak mungkin dan menabung sedikit demi sedikit dari penghasilan. Aku akhirnya memilih kampus dengan kelas karyawan yang memungkinkan aku tetap bekerja. Berjarak tak begitu jauh dari kosan dan tempat kerjaku. Wow! Rencana itu membuatku begitu berapi-api. Aku bahkan berdebar-debar setiap kali melintas di depan kampus itu.
Aku mendapat dorongan semangat dari segelintir orang berpikiran positif yang jumlahnya hanya 2 orang, ibuku dan adikku yang cowok. Adapun saudara lain hanya mendengar dan manggut-manggut sambil berusaha meyakinkanku dengan nasehat bernada “sudahlah, ngapain juga sih?” aku tau niat mereka baik, hanya tak ingin aku terlalu berambisi dan takut kalau-kalau aku jadi gila kalau terlalu bercita-cita tinggi dan tidak kesampaian. Trus sahabat-sahabatku di tempat kerja (aku menganggap mereka sahabat, entah mereka menganggap aku apa) hanya mencemooh, mengejek, menertawakan dengan sikap : “Kita lihat saja nanti!”. Banyak kata-kata perusak semangat yang disampaikan yang intinya meragukanku. Mereka memberikan contoh seorang karyawan yang juga pernah kuliah tapi hanya bertahan satu semester dan lebih memilih fokus bekerja saking capeknya dan contoh-contoh lain yang menurutku waktu itu memang bisa saja terjadi. Namun, kata-kata bernada negatif itu ternyata cukup ampuh. Bukan untuk melumpuhkanku, namun semakin membakar semangatku yang kembali membara seperti tidak terpadamkan. Aku tak menggubris apakah mereka mendukungku atau tidak. Aku tak peduli akan hal itu. Yang aku perduli adalah cara-cara yang dapat kulakukan untuk mewujudkan keinginanku. Semangat yang membakarku sampai ke tulang-tulang membuatku bahkan tak merasakan lelah bekerja dan kuliah yang menyita waktu dan pikiran sangat.
Kampus itu adalah kampus karyawan yang mahasiswanya mayoritas adalah karyawan yang bekerja di daerah industri di Cikarang. Cukup fleksibel waktu kuliahnya karena menyesuaikan dengan sistem shift yang dianut oleh perusahaan pada umumnya di daerah itu. Hal tersulit yang kualami adalah mengatur waktu dan biaya. Adalah wajar bagi karyawan untuk bekerja dan sambil kuliah. Hampir semua teman di kampusku melakukan hal yang sama, karena itu adalah kampus karyawan. Namun, menjadi sulit karena aku harus bekerja lembur dan jarang dianugrahi libur oleh perusahaan yang entah mengapa bisa sedemikian sibuknya itu. Di sisi lain cara kerja perusahaan itu menguntungkan untuk kondisi dompetku karena kuliah, membiayai hidup sendiri di perantauan bukanlah perkara gampang. So, dalam sisi keuangan menguntungkan, di sisi waktu aku kewalahan.
Kendati demikian, aku bekerja dengan semangat 45 karena ingin membuktikan bahwa aku bisa melakukan kedua hal itu dengan sebaik-baiknya, yakni bekerja dan kuliah. Aku berusaha memberikan yang terbaik untuk pekerjaanku karena aku tau aku bertanggung jawab terutama kepada perusahaan yang telah membayarku dengan upah yang menjadi sarana bagiku untuk bisa membiayai kuliahku. Dalam kuliah juga walaupun tiba di kampus dalam keadaan lelah dan hanya membawa sisa-sisa kurasan tenaga dari pabrik, namun, rasa cintaku yang begitu membara untuk kuliah membuatku merasa bersemangat setiap hari. Waktu itu mottoku adalah : bekerja keras, kuliah apalagi! Selain karena kata-kata negatif dari teman-teman kerja juga membuatku merasa tertantang untuk melakukan yang terbaik di tempat kerja dan di kampus. Namun membuktikan diri bukanlah dorongan utama, tapi lebih semangat yang berasal dari dalam, semangat yang muncul dari sebuah kekuatan pengharapan baru. Semangat karena berani melakukan apa yang kuinginkan, apa yang kutakutkan. Aku heran bagaimana aku begitu senang melakukan apa yang selama ini kutakutkan dan mengapa harus takut melakukan apa yang sangat kuinginkan?
Akhirnya setelah 3 tahun kuliah aku lulus dari kampus tercinta itu. Namun setahun sebelum lulus, aku sudah pindah kerja di perusahaan dengan jam kerja yang lebih manusiawi. Aku lulus dengan nilai yang lumayan untuk ukuranku dan aku sangat bersyukur akan hal itu. Aku sekarang bekerja pada perusahaan yang lebih mendingan lagi dengan posisi yang juga lebih mendingan lagi dengan lingkungan yang juga lebih mendingan lagi. Namun bukan itu poin yang ingin disampaikan. Bukan saja bahagia pada selembar izajah di genggamanku tapi pada semua pelajaran yang telah kulalui baik dalam hal pekerjaan maupun dalam hal kuliah. Dari sejak saat itu, aku mulai menyadari bahwa kita tidak memiliki batasan kecuali batasan yang kita buat sendiri! Aku membatasi diri dengan lingkungan dan sudut pandang orang-orang yang berkata mustahil dan itu menjadi seperti mustahil, namun saat mencoba keluar dari batas-batas itu aku menyadari bahwa tak ada yang mustahil.
Sungguh Tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya. Mari sahabat-sahabatku, kita bisa keluar dari batas-batas yang membelenggu kita. Imppossible is nothing. Mari menaruh cita-cita setinggi langit, mari terbang menjemputnya, mari memetik bintang di langit.
No comments:
Post a Comment