Ngapain Sih Penyakit Dibawa-Bawa? Refleksi dari Operasi Benjolan di Kepala
”Ngapain sih penyakit dibawa-bawa!”
Dengan nada agak kesal dokter bedah berusia sepuh itu berkata demikian saat aku cerita tentang riwayat benjolan di belakang telingaku.
Dulu, sekitar 10 tahun yang lalu, aku pernah memeriksakannya ke dokter. Ketika itu kata dokter, benjolan itu nggak perlu diapa-apain. Nggak bahaya dan kalau nggak mengganggu mending biarin aja. Karena kalau dioperasi bisa jadi malah risikonya besar karena di daerah kepala.
Benjolan itu sebenarnya udah ada sejak lama, sejak aku kecil. Bertumbuh lambat semakin besar tapi nggak sakit dan nggak mengganggu. Karena si dokter dulu pernah bilang nggak apa-apa jadinya aku tak pernah mikirin benjolan ini sebagai masalah. Bertahun-tahun aku hidup dengannya, mengabaikan bahkan melupakannya.
Namun belakangan, aku sering merasa pusing, badan lemes dan leher terasa tegang di area sekitar benjolan. Awalnya kupikir ini karena kolesterol atau anemia. Tapi hasil pemeriksaan kesehatanku semuanya normal. Kolesterol baik, tidak anemia, kacamata juga tidak nambah minus atau plus. Aku mulai bingung, ada apa dengan tubuhku?
Sampai suatu hari, saat sedang tiduran karena pusing, tak sengaja tanganku menyentuh benjolan itu. Tiba-tiba muncul pemikiran, “Jangan-jangan penyebabnya dari sini?”.
Rasanya benjolan itu memang sedikit membesar. Siapa tahu, keberadaannya menekan saraf tertentu di kepalaku, yang membuatku sering pusing, lemas dan tegang leher?
Aku pun memutuskan untuk memeriksakan diri lagi ke dokter.
Pertama aku pergi ke dokter umum, yang mendiagnosisnya sebagai lipoma, katanya bisa dipengaruhi oleh pola makan yang kurang sehat. Aku kemudian dirujuk ke dokter bedah, yang langsung mengatakan bahwa itu adalah tumor parotis, tumor di kelenjar ludah yang biasanya jinak.
Dokter ini menyarankan agar benjolan itu segera dioperasi dan diperiksa lebih lanjut untuk memastikan ganas atau tidaknya.
Setelah operasi, hasil PA (pemeriksaan anatomi) menunjukkan bahwa isi benjolan itu adalah cairan, nanah dan darah. Mirip jerawat, tapi lebih besar dan dalam. Untung saja hasilnya tidak ganas.
Tapi meski tidak ganas, bukankah lebih baik dibuang? Siapa tahu suatu hari dia tumbuh lebih besar dan menekan saraf penting? Lagian, buat apa coba aku bawa-bawa cairan berisi nanah dan darah itu di tubuhku?
Benar juga kata si dokter bedah itu, “Ngapain sih penyakit dibawa-bawa?”
Membawa Penyakit yang Tak Terlihat
Perkataan itu lalu membawaku pada suatu perenungan. Berapa banyak dari kita yang masih membawa penyakit yang tidak terlihat?
Bukan benjolan. Bukan sesuatu yang terlihat secara fisik.
Tapi dendam, sakit hati, iri hati, benci, dengki, amarah atau kekecewaan.
Kita menyimpan semua itu dalam hati, memeliharanya diam-diam selama bertahun-tahun. Kita enggan mengampuni, enggan melepaskan. Kita pikir itu wajar. Padahal dengan menyimpannya kita sebenarnya sedang meracuni diri sendiri secara perlahan. Tanpa kita sadari kebencian dan sakit hati itu menggerogoti kesehatan kita dari dalam.
Melepaskan Luka dan Membersihkan Hati
Pada tahun 2021 lalu aku bertekad menjadi versi terbaik dari diriku. Saat itu satu hal yang kupikir perlu kulakukan adalah membersihkan hati dari semua luka lama.
Aku lalu membuat daftar nama orang-orang yang pernah membuatku sakit hati dan yang pernah aku sakiti.
Aku tulis satu per satu, siapa orangnya, masalahnya apa, kenapa aku marah atau kecewa dan kenapa aku merasa bersalah terhadap mereka.
Ada sekitar 10 orang di dalam daftar itu. Termasuk ayahku yang menurutku telah memperlakukanku dengan begitu mengecewakannya, meninggalkan keluarganya dan tak pernah peduli. Termasuk kakakku yang menurutku caranya memperlakukanku menyisakan banyak luka batin. Termasuk seseorang yang aku anggap sahabat paling dekat tapi dari salah satu tindakannya membuatku sadar bahwa dia tak menganggap aku sebagai sahabat juga. Lalu orang-orang yang ku sakiti karena sikap atau perkataan kasar ku pada mereka yang membuat hubungan kami jadi dingin.
Kemudian aku menghubungi mereka dengan mengirim pesan permintaan maaf atas hal-hal yang kurang baik di masa lalu.
Buat orang yang menyakitiku aku menjelaskan bagaimana perlakuan mereka telah membuatku terluka dan meminta maaf bahwa aku sempat menyimpan benci. Untuk mereka yang tidak bisa aku hubungi, aku minta maaf lewat doa kepada Tuhan.
Sebagian besar dari mereka memaafkan. Bahkan ada yang sudah lupa dengan kejadian nya.
Aku tidak merasa harus kembali dekat atau berhubungan lagi dengan mereka. Tapi yang paling terasa dari tindakan beres-beres itu adalah efeknya ke dalam diriku sendiri. Aku merasa sangat lega. Rasanya seperti ada beban berat yang lepas dari pundakku dan seperti ada pintu yang terbuka lebar di depanku.
Sejak itu, aku memutuskan untuk tak ingin lagi menyimpan sakit hati pada siapa pun.
Saat aku diperlakukan tidak baik oleh seseorang, aku memilih untuk mengampuni dan kemudian melepaskan secara emosional (emotional detachment).
Bukan berarti membenci, tapi aku belajar untuk tidak membiarkan emosiku dikendalikan oleh orang lain. Aku cukup tahu siapa mereka, dan tahu bagaimana menyikapinya. Tidak perlu berharap mereka berubah. Cukup jaga jarak yang sehat dan tetap bersikap bijak.
Dan sejak saat itu hidup terasa lebih ringan.
Kadang, yang kita pikir tidak masalah justru sedang tumbuh diam-diam dan memengaruhi hidup kita tanpa kita sadari.
Mungkin sekarang saatnya kita memeriksa. Apakah ada “benjolan” dalam hidup kita yang masih kita bawa-bawa?
Kalau iya, mungkin ini saatnya kita bereskan. Melepaskan pengampunan dan memulihkan hati.
“To forgive is to set a prisoner free and discover that the prisoner was you.” - Lewis Smedes