Bagaimana Khotbah Hamba Tuhan Itu Menarikku dari Jurang
“Kamu tidak peduli, kan, kalau aku binasa?!”
Seruan itu menggema dalam hatiku, saat mataku bersitatap dengan pendeta yang tadi menyampaikan khotbahnya di ibadah Minggu.
Saat itu kami berpapasan di depan lift sepulang ibadah. Jemaat lain tersenyum hangat, menjabat tangannya dengan penuh hormat. Tapi aku hanya berdiri diam, menatap kecewa dan marah.
Marah pada isi kotbahnya yang terasa kosong. Tak ada api. Tak ada kuasa. Seperti tanpa persiapan. Seperti hanya sekadar menyelesaikan tugas mingguan tanpa kesungguhan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang mungkin datang dengan beban. Contohnya aku.
Waktu itu, antara tahun 2011–2015, aku sedang berada dalam masa tergelap hidupku. Aku terikat dalam dosa yang sangat ingin kutinggalkan, tapi rasanya aku tak sanggup melepaskan diri dari cengkeramannya.
Secara lahiriah, aku tampak seperti orang baik-baik bahkan mungkin dianggap lumayan alim. Tidak melakukan perbuatan yang secara moral umum dianggap tercela, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berjinah. Tapi hanya aku dan Tuhan yang tau betapa gelapnya batinku. Mungkin setan juga tau sih.
Meskipun ikatan dosa itu membuat kerohanianku terasa kering, aku tetap rajin ke gereja atau acara-acara ibadah lain.
Sebenarnya di satu sisi, aku berperang dengan suara-suara hujatan dari dalam diriku yang mengatakan bahwa aku tidak layak ada di gereja. Bahwa aku adalah orang munafik.
Setiap kali aku memohon ampun atas dosaku, suara-suara mengejek itu datang menyerang, berusaha memadamkan semangatku.
“Alah, ampun-ampun. Paling nanti juga kamu lakuin lagi!”
Namun di sisi lain, aku merasa tetap perlu datang ke gereja untuk mencari pertolongan. Aku tau apa yang kulakukan tidak benar dan aku ingin sekali menghentikannya.
Aku seperti orang yang tergelincir di tepi jurang gelap. Masih berusaha menggapai sesuatu agar tidak terjatuh. Aku ingin sekali naik ke atas, tapi begitu tak berdaya melakukannya. Aku benar-benar berharap seseorang di atas sana datang dan menarikku naik dan menyelamatkanku. Menghindarkanku terjatuh dan terhanyut ke dalam jurang kegelapan itu.
Namun, setiap kali ke gereja, aku tidak menemukan siapa pun yang benar-benar bisa menarikku keluar. Aku mencoba menghadiri ibadah di berbagai gereja dengan denominasi berbeda. Hasilnya tetap sama.
Khotbah yang kuperoleh kebanyakan hanya soal berkat jasmani. Kuasa Tuhan untuk memulihkan ekonomi, janji jadi kepala bukan ekor, memberikan persembahan agar diberkati berlipat ganda, mendapatkan harta bangsa-bangsa.
Beberapa pendeta terlihat begitu berbinar-binar matanya saat bicara tentang hal-hal materi yang dimiliki, pejabat penting yang dia kenal, prestasi-prestasi anak-anaknya, dan lain-lain yang entah apa implikasinya bagi hidup jemaat yang mendengarnya.
Beberapa pendeta berkotbah dengan tidak bersemangat. Sibuk bicara di mimbar tanpa peduli apakah jemaat yang mendengar tertarik atau terbangun saat dia berkotbah.
Beberapa pendeta memang fasih dan pintar, mengupas ayat-ayat secara mendalam. Kadang ada juga kotbah yang berhasil membuatku tersadar. Tapi efeknya tak bertahan lama. Semangat untuk hidup benar yang timbul saat ibadah biasanya langsung menguap begitu aku melangkah keluar dari pintu gereja
Kebenaran yang Berani Menampar
Setelah sekian lama mencari dan tidak kunjung ketemu jawaban, aku mulai ragu dan mempertanyakan apakah ada kotbah yang benar-benar bisa menyentuh dan mengubah batinku?
Apakah aku memang se bebal itu tak sanggup untuk bertobat?
Hingga suatu hari, tahun 2016, seorang rekan kerja mengajakku ke ibadah tengah minggu sepulang kerja di Gedung Panin di daerah Senayan.
Jaraknya cukup jauh dari kantor dan agak macet. Kami datang telat saat sudah mulai kotbah. Kami duduk paling belakang, tapi walaupun begitu, aku bisa merasakan kuasa dalam kotbah tersebut yang seperti menusuk tajam ke dalam hatiku.
Khotbah yang disampaikan pendeta itu terasa seperti jawaban atas semua pergumulan yang kualami. Dia berkhotbah dengan keras, serius, dan nyaris tanpa humor. Nada suaranya tegas. Bahkan kadang seperti menghardik. Kadang terdengar menyakitkan, tapi justru ternyata itulah yang aku butuhkan. Kebenaran yang menampar dan menyadarkan.
Sejak saat itu aku tidak pernah absen mengikuti ibadah dan seminar-seminar rohani yang sering diadakan oleh pendeta itu. Beliau dengan konsisten dan sungguh-sungguh mengajarkan Firman yang membangun kedewasaan logika iman dalam kebenaran Alkitab.
Kebenaran demi kebenaran yang dia sampaikan membuatku seperti terjaga dari ketidaktahuan. Seperti orang yang baru tersadar dari pingsan yang dengan heran mengamati sekelilingnya sambil bertanya-tanya,
“Aku di mana? Kenapa aku di sini? Siapa orang-orang ini?”
Aku mulai menyadari betapa rusaknya cara berpikir dan cara hidupku. Selama ini aku seperti zombie, hidup dan tetap bergerak tapi tak sadar arah. Tanpa sadar tergiring menuju jurang kegelapan abadi.
Kesucian Hidup dan Tanggung Jawab Umat Tebusan Allah
Pendeta itu menekankan pentingnya menjaga kesucian hidup dan tanggung jawab dalam menjalani kehidupan sebagai umat Kristiani yang sudah ditebus oleh pengorbanan Kristus di kayu salib.
Bahwa kita memang masih punya kodrat dosa, tapi kita bisa berusaha meninggalkannya. Makin hari makin kudus dan makin berkenan kepada Allah. Tidak bergumul terus dalam kubangan dosa.
Sebelumnya, kotbah yang biasa kudapat adalah tentang Tuhan yang menyelesaikan segala dosaku, bahwa Tuhan mengerti kelemahanku, bahwa kesempurnaan hanya milik Tuhan, yang mengesankan bahwa manusia tidak berdaya untuk hidup kudus. Kali ini kotbahnya agak berbeda tapi cukup masuk akal.
Terkait perintah untuk kita harus hidup kudus sebab Allah kudus. Berusaha menjadi sempurna seperti Allah Bapa juga sempurna.
tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. (Petrus 1:15-16)
Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna. (Matius 5:48)
Pendeta itu menjelaskan, nggak mungkin Tuhan ngasih kita perintah begitu kalau Tuhan tau kita nggak punya potensi untuk mencapainya.
Tuhan yang menciptakan manusia serupa dan segambar dengan diriNya itu, tau persis apa yang Dia katakan. Tau betul potensi apa yang ada di dalam diri manusia yang Dia ciptakan itu. Bahwa kita punya kodrat Ilahi.
Kotbah itu membangkitkan keyakinan dan daya juang ku bahwa aku mampu bangkit dari kepasrahan dan ketidakberdayaanku selama ini. Dan melepaskan diri dari ikatan dosa yang membelenggu.
Satu kalimat yang sangat membekas dari khotbahnya:
“Kalau kamu terus berkubang dalam dosa yang sama, datang ke gereja tiap minggu hanya untuk minta ampun, lalu kembali jatuh ke kubangan yang sama, kamu bukan sedang bertobat. Kamu sedang mempermainkan Tuhan.”
Aku tersentak. Karena itu aku. Selama ini aku memperlakukan Tuhan seperti tukang sapu dosa mingguan.
Pola Pikir yang Dibaharui
Lalu aku juga mengerti bahwa aku menyeburkan diri ke kubangan dosa itu adalah karena aku belum sepenuhnya menyadari siapa diriku dihadapan Tuhan.
Aku diingatkan berkali-kali bahwa aku adalah ciptaan Tuhan yang mulia dan berharga. Diciptakan untuk suatu tujuan yang mulia. Untuk jadi alat menyatakan kemuliaan Tuhan, bukan untuk jadi alat setan untuk berbuat dosa.
Bahwa keberharagaanku bukanlah karena hal materi atau tampilan luar tapi kehidupan batiniah yang dibaharui dari hari ke hari oleh Tuhan.
Oleh karena engkau berharga di mataKu dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau..(Yesaya 43:4)
Kebenaran-kebenaran yang dia sampaikan perlahan mengubah pola pikirku. Dengan melihat diriku sebagai ciptaan yang mulia dan berharga di mata Tuhan, aku mulai memperbaiki hidupku. Melakukan hal-hal yang sepantasnya dilakukan oleh orang-orang yang menghargai dan mengasihi dirinya.
Berusaha berhenti melakukan apa yang tidak baik. Bukan karena rasa takut dihukum, tapi karena aku mengasihi Tuhan dan juga diriku sendiri. Aku tak ingin membinasakan diriku sendiri dengan tetap berputar-putar di dalam kubangan dosa.
Sejak saat itu, secara berangsur-angsur, kehidupan kerohanianku mulai terbangun dalam bangunan yang benar. Bukan hanya tampak luar seperti orang alim. Tapi sisi internalku diperbaiki satu demi satu. Sampai akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari ikatan dosa yang tadinya melilitku begitu kuat.
Menjadi Seperti Rancangan Allah Semula
Memperbaiki kerusakan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun tidak cukup hanya dengan sekali dengar kotbah di hari minggu.
Kotbah yang biasanya durasinya hanya sekitar 1 jam. Butuh mendengar kebenaran demi kebenaran hingga kebenaran itu mengubah cara berpikirku. Karena dengan pola pikir yang benar, benar pula perilakunya. Atau mungkin tidak instan langsung benar, karena itu pun butuh proses. Tapi setidaknya arahnya sudah benar.
Hingga saat ini pun proses perbaikan itu masih terus berlangsung. Dan akan terus berlangsung hingga akhir hidup. Sebab, yang dikehendaki Tuhan adalah profil manusia yang segambar dan serupa dengan Dia, sesuai dengan rancangan Allah semula.
Harapan untuk Para Hamba Tuhan
Jika para Hamba Tuhan bisa melihat jemaat seperti aku dulu, orang yang sedang tergelincir di tepi jurang, masihkah mereka akan hanya berkhotbah tentang berkat jasmani, menekankan seolah hal materi adalahi arah hidup?
Sungguhkah itu hal paling esensial yang dibutuhkan oleh jemaat?
Aku tidak berkata bahwa topik berkat atau ekonomi itu salah. Tapi di tengah kegelapan yang melilit begitu banyak orang, apa yang mereka butuhkan adalah kebenaran yang mengubahkan. Khotbah yang datang dari hati yang takut akan Tuhan dan benar-benar peduli pada jiwa-jiwa yang nyaris terhilang.
Sebenarnya aku agak takut menulis hal ini. Aku merasa siapakah aku ini menilai kinerja Hamba Tuhan? Bukankah itu adalah hak Tuhan untuk menilai hambaNya?
Tapi aku ingin membagikan pengalaman pribadi ini, bukan untuk menghakimi siapa pun, melainkan sebagai kesaksian tentang betapa penting dan berkuasa nya sebuah kebenaran Firman yang disampaikan dengan sungguh-sungguh.
Aku percaya, Tuhan bisa memakai siapa saja untuk menyampaikan kasih dan kebenaran-Nya. Sebagaimana Dia pernah melakukannya untuk ku melalui seorang hamba-Nya.
Oya, nama Pendeta tersebut adalah Pdt. Dr. Erastus Sabdono. Hingga saat ini aku masih mendengar kotbahnya melalui youtube channel di Truth.id
Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: ”Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”
- Yohanes 8:31-32