Pelajaran dari Sakitnya Rasa Tertolak


Ada pelajaran berharga dalam setiap kejadian, dan biasanya semakin menyakitkan hal itu bagi kita, semakin besar pelajaran yang dapat kita petik dari hal itu.

Saat itu aku, yang baru lahiran, merasa sangat letih dan butuh healing. Aku ingin liburan ke Lembang Bandung. Aku bayangkan alangkah akan indahnya menikmati lingkungan alam yang hijau, sejuk dan tenang.

Aku dan suami membuat rencana liburan dengan dana tabungan liburan akhir tahun yang kami udah siapkan. Jumlahnya mendukung untuk liburan staycation di Lembang.

Namun rencana itu berubah. Saat itu Ibu dan adik-adik suami berencana mudik ke Solo. Mereka tampak semangat mempersiapkan liburan itu. Hampir setiap hari mereka melihat video di youtube, tentang review tempat jalan dan tempat makan enak saat liburan nanti. Rencananya mereka juga akan nginap di hotel di Jogja.

Aku lihat suami tampaknya tertarik melihat review-review itu dan iseng-iseng aku tanya apakah suami mau liburan ke Solo aja daripada ke Bandung? Respon suami sungguh di luar prediksiku. Aku tak menyangka bahwa dia akan sebegitu excited nya menyetujui ide itu.

Seperti orang yang kesurupan roh mudik, tak henti-hentinya dia membahas rencana itu. Setiap hari dia mendesakku untuk memastikan apakah aku bisa cuti dari kantor. Apakah dia sudah bisa pesan tiket, apakah dia sudah bisa mulai packing. Itu bahkan masih 3 bulan sebelum keberangkatan!

Awalnya memang aku iseng dengan ide itu, tapi kemudian aku putuskan untuk menindaklanjutinya dengan serius. Aku tak lagi memikirkan keinginanku healing liburan ke tempat sepi. Aku tak ingin melihat suamiku yang sudah begitu semangat itu menjadi sedih kalau nggak jadi ke Solo.

Dengan niat membuat suasana makin seru, suami berencana bikin surprise dengan nggak memberitahu keluarga kalau kami juga mau ikut liburan ke Solo. Diam-diam kami beli tiket bus yang akan mereka naiki dan booking hotel dimana mereka akan menginap juga saat akan ke Jogja. Kami juga rental mobil biar tidak membuat perencanaan jalan mereka terganggu. Kami memperhitungkan dan mempersiapkan semuanya dengan rapi.

Kami berniat juga mengadakan syukuran atas kelahiran anak kami, El. Jadi dana yang kami butuhkan menjadi lebih besar dari yang tadinya bila hanya liburan ke Bandung.

Hari keberangkatan pun tiba. Kami sudah naik bus duluan dari Jakarta dan bus itu menjemput penumpang lain di Bekasi, dimana ibu dan adik-adik iparku akan naik juga. Kami melihat mereka di loket, berdebar-debar menunggu mereka naik.

Lalu mereka naik bus dan duduk di kursi masing-masing. Aku dan suami, yang duduk sebarisan dengan kursi ibu, diam saja pura-pura nggak kenal. Begitu excited membayangkan bagaimana nanti ekpresi mereka saat tau kami ternyata ikut liburan bersama. Setelah beberapa menit dan mereka sudah duduk dengan santai, akhirnya mereka mengenali bahwa itu kami.

Aku berhasil melihat ekspresi kaget di wajah mereka, seperti yang kami perkirakan. Tapi aku tak melihat ekpresi senang seperti yang aku bayangkan akan terlihat di wajah mereka. Bahkan aku melihat ekspresi seperti bingung? Aku tak tau pasti apa yang sebenarnya mereka rasakan.

Kami tiba di Solo dan menginap di rumah kerabat di sana. Semua tampak baik-baik saja. Sambutan ramah dan obrolan yang hangat terjadi. Namun aku merasa sepertinya ada yang kurang baik-baik saja, entah apa.

Akhirnya aku mendapatkan jawabannya saat kami sedang jalan-jalan ke suatu tempat wisata Curug. Saat itu ibu mertuaku marah dan melarang kami ke sana karena katanya nggak baik bawa anak bayi. Dengan kesal dia bicara padaku bahwa dia sebenarnya kaget kenapa kami ikut jalan-jalan bersama mereka.

Saat mendengar perkataan itu, aku merasa begitu sakit hati oleh rasa tertolak. Sakit yang begitu menusuk dan menyakitkan dada. Saat hampir segala tindakan yang kau lakukan didasari oleh kehausan akan penerimaan dan pengakuan, mendapat penolakan seperti sebuah pukulan telak tepat di ulu hati.

Aku jadi tau, ternyata mereka terganggu dengan keikutsertaan kami. Mungkin mereka berpikir kehadiran kami akan mengacaukan rencana liburan mereka yang sudah disiapkan dengan rapi? Tapi kemudian aku perhatikan, tampaknya ibu mertuaku senang melihat kehadiran anak dan cucunya. Sepertinya masalahnya ada padaku. akulah yang dia tak suka lihat berada di tempat itu.

Aku sungguh tak mengerti akan hal itu. Aku pikir bahwa kehadiran kami akan menyempurnakan kebahagiaan mereka. Bukankah itu normal? Bukankah itu menyenangkan liburan rame-rame sekeluarga besar? Bukankah aku adalah bagian dari keluarga besar ini? Atau sebenarnya itu hanya perasaanku saja?

Aku cerita ke suami tentang isi hatiku, dia memang mendengarkan tapi aku tau dia tak berada di pihakku. Dia ibarat anak ayam yang masih ingin berlindung di bawah kepak sayap induknya. Dia masih terikat begitu kuat. Tentu tak harus tak terikat, tapi tampaknya dia belum sepenuhnya bisa move on dan lebih fokus pada keluarga baru nya.

Aku butuh beberapa waktu untuk memulihkan diri dari rasa sakit hati. Belum pernah aku liburan dengan efek samping seburuk itu sebelumnya. Biasanya liburanku menyenangkan dan menyegarkan.

Sejak saat itu aku menjadi mengerti bahwa ibu mertua sepertinya tak begitu menyukaiku. Mungkin ada hal yang aku lakukan yang tidak berkenan di hatinya atau sesuatu sebab lain. 

Pada akhirnya rasa sakit yang besar atas penolakan itu membuatku sadar bahwa aku harus menyukai diriku sendiri. Nggak apa-apa kalau orang lain tidak menyukaiku. Nggak apa-apa bila orang lain tidak menerimaku sebagai bagian dan memasukkanku dalam agendanya.

Yang paling penting adalah aku menyukai diriku sendiri. Aku menerima diriku apa adanya dan aku melakukan sesuatu yang berguna untuk kehidupanku.

Hanya karena orang lain menolakku bukan berarti aku memang buruk dan tak berharga. Aku tadinya akan menghujat diriku bahwa aku seharusnya begini begitu agar layak untuk diterima. Aku tadinya akan menuntut diriku untuk lebih perfect. Memaki diriku yang tidak sanggup memasukkan diri ke suatu lingkungan baru dengan baik. Tapi bukankah hal itu seperti suatu tindakan penolakan terhadap diriku sendiri?

Aku memilih untuk tidak ikut-ikutan menolak diriku sendiri. Aku mau berdiri di pihakku.

Lagian, aku sudah begitu terpuruk. Bila bukan aku yang mengasihi diriku sendiri, yang menerima diriku sendiri, yang menghibur diriku sendiri, siapa lagi?

The only person who can pull me down is myself, and I’m not going to let myself pull me down anymore.”—C. JoyBell C.

Popular posts from this blog

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya

Bertahan Hidup dan Tetap Waras adalah Suatu Pencapaian

Pelajaran untuk Tidak Mudah Menghakimi Orang Lain