“Pernahkah kamu berniat bunuh diri?” Wanita itu bertanya demikian setelah mendengar ceritaku tentang kehidupan masa kecilku yang traumatis dan keadaan keluarga yang buruk di masa lalu.
“Nggak sih. Aku sama
sekali tak pernah kepikiran untuk bunuh diri. Kenapa aku harus ingin bunuh
diri?” Jawabanku membuat wanita itu tampak heran. Dia bilang aku adalah wanita
kuat karena mampu bertahan melalui semua peristiwa hidup yang sulit itu. Dia
lalu cerita bahwa dulu dia sering mencoba bunuh diri saat sedang mengalami
tekanan hidup yang berat.
Aku jadi mikir, kenapa ya
aku tak pernah berniat bunuh diri? Aku pun tak mengerti. Suatu hari aku baca
artikel tentang Maladaptive Daydreaming
yang aku pikir bisa jadi ini alasannya.
Apa
itu Maladaptive Daydreaming?
Maladaptive
Daydreaming (MD) adalah istilah yang pertama kali
dicetuskan oleh seorang professor bernama Eli Somer pada tahun 2002 untuk
menggambarkan suatu kondisi dimana seseorang menghabiskan waktu yang berlebihan
dalam melamun atau berfantasi. Maladaptive berarti jenis lamunan yang tidak
sehat yang digunakan sebagai copying
mechanism atau cara seseorang menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan
atau situasi yang mengancam yang sedang dia hadapi.
Orang yang MD cenderung
kehilangan dirinya atau terhanyut dalam lamunan yang intens dan kompleks.
Lamunan tersebut layaknya sebuah cerita atau skenario film yang memiliki alur,
tokoh dan latar yang sangat detail dan jelas.
Saat melamun orang tersebut biasanya ikut terbawa emosi
sehingga menunjukkan beragam ekspresi seperti berbicara, tertawa, menangis atau
membuat gerakan tubuh seperti mengibaskan tangan atau berjalan mondar mandir sesuai
dengan scenario yang sedang berlangsung dalam lamunan tersebut.
Karena
kesulitan untuk mengendalikan imajinasinya, mereka bisa menghabiskan waktu yang
panjang untuk melamun, bisa lebih dari 4 jam dalam sehari. Akibatnya bisa
mengganggu focus pada kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi interaksi sosial.
Menurut Somer, beberapa
orang yang mengalami MD biasanya memiliki sejarah kekerasan atau trauma masa
kecil. Walau demikian tidak semua penderita MD mempunyai latar belakang
demikian.
Apa perbedaan melamun biasa dengan
Maladaptive Daydreaming?
Melamun
biasa adalah membayangkan sekilas sesuatu yang menyenangkan yang ingin dicapai.
Misalnya melamun mau jalan-jalan ke Bali, dia akan membayangkan nanti di Bali
mau kemana saja, enak banget kali ya kalau kami ke pantai A, dst. Sementara MD,
isi lamunannya nggak jelas juntrungannya dan hanya digunakan untuk lari dari
kenyataan yang tidak menyenangkan, tak ada niat untuk mencapainya.
Meskipun
aku belum pernah berkonsultasi ke tenaga profesional, aku pikir aku pernah
mengalami MD karena semua kriteria ini pernah terjadi padaku.
Pengalamanku dengan Maladaptive Daydreaming
Bermula
sejak aku anak-anak. Saat itu aku sering merasa
diabaikan, diperlakukan kasar secara fisik dan verbal, dipukul, dibentak, menyaksikan
teriakan dan pertengkaran dan hal buruk lain yang membuatku sering dilanda kecemasan,
ketakutan, kekecewaan, kemarahan dan kesedihan yang tak terjelaskan.
Tak tau kepada siapa
aku harus menceritakan segala kekacauan yang sedang berlangsung di dalam pikiranku.
Tak ada orang yang mengerti pun tak ada orang yang tampaknya peduli. Aku sering
merenung dan menangis sendiri.
Pada akhirnya, mungkin karena
tak kuat menanggung semua tekanan batin itu, aku lalu menemukan satu jalan
keluar yaitu lari dari kenyataan. Aku berlari kepada suatu kehidupan yang terjadi
dalam imajinasiku yang berkebalikan dengan kenyataanku.
Di dunia itu semua keadaan
ideal bisa terjadi sesuai keinginanku. Aku bisa menjadi apa saja, menjadi siapa
saja, mendapatkan apa saja dan melakukan apa saja. Aku bisa menjadi orang kaya,
cerdas, berbakat, cantik, dicintai, punya power, apapun itu yang aku tak
temukan di dunia nyataku.
Di dalam imajinasiku
seolah ada layar yang sedang menampilkan kisah yang aku ikut terlibat di
dalamnya. Tokoh utama dalam cerita itu bisa diriku sendiri atau tokoh lain yang
mewakili diriku. Jalan ceritanya bisa berdasarkan penggalan kejadian nyata yang
alurnya aku ubah sesuai keinginanku. Bisa mengikuti potongan-potongan film,
cerpen atau buku yang aku baca. Ceritanya intens dan kadang berulang-ulang
hanya ngurusin satu scenario dengan begitu detail.
Saat masih kecil, aku
sering membuat imajinasi tentang seorang anak yang hidupnya dilimpahi kasih
sayang oleh orangtua dan sekelilingnya. Karena saat itu aku merasa diriku diabaikan
dan diperlakukan buruk. Kadang juga tokohnya adalah seseorang dengan kekuatan
superhero bila aku sedang mengalami perlakuan kasar namun tak berdaya melawan.
Saat aku remaja, tokoh
fantasi bisa merupakan seorang gadis cantik, cerdas dan berprestasi di sekolah.
Kebalikan dari diriku di dunia nyata yang menurutku jelek, miskin dan bodoh.
Tak membanggakan di bidang apapun.
Saat aku beranjak
dewasa, tokohnya berkembang lagi menjadi seorang wanita karir yang cantik,
sukses, kaya, bisa melakukan apa saja di bidang apa saja. Kadang bisa menjadi
penyanyi terkenal, dokter, pengacara atau apapun yang aku pikir hebat. Tokoh
itu dikagumi dan kehadirannya begitu mempengaruhi kehidupan banyak orang.
Lagi-lagi merupakan kebalikan dari hidup nyataku yang menurutku tak diinginkan,
tak dicintai dan tak dianggap penting.
Berlari ke dunia
fantasi adalah jalan ninja ku setiap kali aku berhadapan dengan dunia nyata
yang tidak menyenangkan. Di dunia fantasi ini jauh lebih menyenangkan. Aku bisa
terhanyut di dalamnya sehingga aku tak begitu pusing mikirin masalah hidup di
dunia nyata. Jadi mungkin karena itulah aku tak pernah berpikir untuk bunuh
diri.
Akibat
Buruk Maladaptive Daydreaming
Akan tetapi hidup dalam
dunia fantasi ini sebenarnya bukan hal yang baik. Siklus hidupku seperti sedang
berputar dalam lingkaran setan seperti digambarkan berikut ini:
Sumber: thehelpugive |
Hidupku hanya berputar
pada kegiatan melarikan diri dari kepahitan kenyataan dengan membuat kehidupan
lain dalam imajinasiku dan menghabiskan waktu untuk melamunkannya. Waktu habis
terbuang sia-sia membuat hidupku tidak produktif dan malah kinerjaku semakin menurun.
Melihat gap yang terlalu jauh dari khayalan dengan kenyataan membuatku makin frustasi
lalu kembali berlari dari kenyataan dengan membuat imajinasi baru.
Begitu
banyak waktu yang terbuang sia-sia membuatku jadi tak produktif dan sulit fokus
mencapai suatu tujuan. Misalnya aku ingin jadi juara dalam suatu lomba,
alih-alih menggunakan waktu untuk belajar, aku memilih untuk melamunkan bahwa
aku sudah mencapai prestasi itu dan bahkan lebih besar dari itu. Aku juga
kadang belajar sekedarnya saja karena terganggu oleh lamunan.
Aku
menjadi menarik diri dari pergaulan sehingga aku tak punya kehidupan sosial
yang baik.
Aku
sering lupa pada orang-orang yang pernah berinteraksi denganku di suatu waktu.
Karena saat bertemu mereka, mungkin secara fisik aku berada di tempat itu,
namun pikiranku melayang-layang di dunia fantasi.
Satu
hal lagi, aku takut, karena di dunia fantasi begitu indah sementara dunia nyata
begitu berat, bisa-bisa membuatku tak mau balik ke dunia nyata. Keterusan hidup
di dunia fantasi, lama-lama mungkin aku bisa jadi orang gila.
Melamun seperti menjadi
suatu kecanduan yang sulit untuk dikendalikan. Seringkali aku berusaha untuk
menghentikannya dan fokus pada kehidupan nyata. Namun tidak mudah melepaskannya
begitu saja. Mungkin karena hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan sejak
anak-anak hingga usia dewasa sekitar 30 tahunan.
Aku dulu berpikir bahwa
hal itu hanya karena imajinasiku yang terlalu liar dan tak terkendali. Sampai
pada suatu saat aku menyadari, hal itu ternyata ada pemicunya.
Pemicunya adalah aku
merasa diriku tak berharga sama sekali. Aku juga punya mindset yang salah akan
apa yang akan membuatku berharga seperti pada penampilan fisik, materi dan
prestasi.
Melalui suatu
perjalanan panjang, akhirnya aku bisa meminimalisir bahkan melepaskan diri dari
kebiasaan buruk MD ini.
Saat itu aku mendengar
kotbah dari seorang pendeta. Kotbah ini seolah menampar-nampariku untuk
tersadar dari lamunanku yang episodenya terus bersambung tak kelar-kelar itu.
Kotbah itu membangunkanku dari tidur panjang dalam dunia fantasi. ,
Kotbah itu berkali-kali
menekankan bahwa hidupku berharga di mata Tuhan dan aku diciptakan untuk suatu
tujuan mulia di muka bumi ini. Keberhargaanku tak ditentukan oleh apapun yang
terlihat di permukaan tapi dalam kehidupan batiniahku yang diciptakan serupa
dan segambar dengan Allah.
Aku mulai melihat
diriku sebagai pribadi yang berharga dan mulia seperti Tuhan melihatku dan mulai
mengarahkan hidupku untuk mencapai tujuan yang memang seharusnya aku capai.
Aku tak ingin hanya
sekedar bernafas, sekedar belajar, sekedar bekerja, sekedar bertahan hidup,
sekedar tak berniat bunuh diri. Aku ingin hidupku maksimal.
Misalkan waktu
kesadaranku adalah 100%, selama ini aku mengisinya dengan 50% hidup nyata dan
50% hidup fantasi.
Dengan cara itu, aku
hanya mencapai apa yang aku capai saat ini. Mungkin hanya 50% dari potensi yang
sebenarnya aku punya. Bagaimana bila aku memaksimalkan 100% waktu sadar itu
dengan 100% hidup nyata untuk mencapai tujuanku? Tentu kualitas hidupku bisa
jauh lebih baik lagi untuk menyelesaikan apa yang menjadi tugasku dalam hidup ini.
Referensi:
https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/23336-maladaptive-daydreaming
No comments:
Post a Comment