Wednesday, December 27, 2023

Kebaya Tanpa Payet - Dilema Bergaya Hidup Sederhana

 

Kebaya Kutubaru (sumber: pinterest)

Pada suatu hari, beberapa bulan yang lalu, aku menghadiri pesta pernikahan seorang kerabat jauh yang merupakan pihak mempelai wanita. Pemberkatan nikah diadakan di salah satu gereja Katolik di Jakarta Pusat dilanjutkan dengan resepsi pernikahan di salah satu restoran yang cukup mewah di daerah Jakarta Selatan.

Penyelenggara pesta ini adalah keluarga mempelai pria yang berdomisili di Jakarta. Dari fasilitas yang disediakan di tempat pemberkatan sampai di tempat resepsi aku bisa menilai, penyelenggara pesta ini adalah orang yang lumayan berada.

Namun ada satu hal yang menarik perhatianku yaitu penampilan ibu mempelai pria yang tampak begitu bersahaja.

Sebagai orang Batak, aku terbiasa dengan penampilan ‘wah’ ibu-ibu yang pergi ke pesta. Jangankan sebagai penyelenggara pesta, hanya seorang tamu undangan biasa pun, penampilannya bisa begitu mevah dan berkilau. Apalagi bila dia adalah pihak penyelenggara pesta misalnya sebagai ibu mempelai. Penampilannya dari kepala sampai kaki biasanya harus berkilauan.

Sasak tinggi dengan sirkam berkilau, aneka bentuk payet berkilau di sepanjang kebaya, songket harga juta an yang juga tak kalah berkilau, sepatu juga harus ada manik-manik berkilau. Satu hal lagi yang tak boleh lupa, segala koleksi perhiasan mulai dari anting, kalung, gelang, cincin wajib dikenakan. Pokoknya glowing, shimmering, bling bling!

Sehingga aku menilai betapa kontras penampilan ibu mempelai pria dalam pesta pernikahan kali ini dengan ibu-ibu yang biasa aku lihat di pesta adat Batak.

Ibu mempelai pria ini mengenakan kebaya model kutu baru warna hijau muda dengan rok batik model wiru warna coklat tua. Sama sekali tak ada payet-payetan pada kebayanya. Perhiasan yang dia kenakan hanya anting bulat mutiara berukuran sedang dan sebuah bros cantik berbentuk bunga warna silver berukuran sedang disematkan di bagian depan kebayanya. Dia tak memakai kalung, gelang dan cincin.

Dia memakai sandal heels berwarna silver dengan model yang sederhana. Makeup nya pun natural, dengan warna lipstick soft pink. Sama sekali jauh dari kata menor.

Dia bisa saja memakai banyak perhiasan tapi dia memilih penampilan sederhana. Walau demikian, saat aku salaman dengan beliau dan melihat senyum nya yang lembut, aku benar-benar terpesona dengan kecantikan dan keanggunannya. Menurutku dia tetap tampak sangat cantik dan mevah dengan penampilan sederhana itu.

Karena terinspirasi dari wanita itu, aku pun bertekad, nanti kalau aku mau jahit kebaya untuk suatu acara, aku akan melakukan hal yang sama. Tak perlu pusing dengan payet-payetan dan perhiasan. Aku akan tampil sederhana dan tetap anggun seperti wanita itu.

Aku bahkan menyimpan foto wanita itu dan bertekad untuk bikin model kebaya seperti yang dia kenakan kelak kalau ada acara yang perlu.

Dan kesempatan itu pun datang saat adik iparku akan menikah. Saat bahan seragam keluarga dibagikan, aku mulai berpikir keras mau dibikin seperti apa bahan seragam itu.

Foto ibu mempelai pria tadi kembali aku lihat. Ya, aku mau bikin model kebaya kutu baru tanpa payet seperti yang dikenakannya. Namun, aku mulai merasa bimbang. Ini model tampaknya terlalu sederhana. Aku mulai nyari model kebaya kutu baru lain di internet dan terkesima dengan betapa banyaknya model yang cantik dan mevah dengan kilauan payet-payet indah.

Aku mulai ragu apakah ingin tetap mengikuti inspirasi penampilan sederhana wanita itu.

Apalagi saat lagi berbincang tentang model kebaya dengan seorang saudara sepupu yang suka ke pesta Batak dan punya selera lumayan bagus dalam hal per kebaya an.

Dia berkata bahwa seragam keluarga dalam acara nikahan tadinya dibuat untuk tidak menimbulkan kesenjangan sosial. Karena seragam itu bisa menyamarkan si miskin dan si kaya. Namun pada prakteknya, orang-orang yang mau jahit kebaya untuk pesta, pada akhirnya merasa perlu untuk tetap menunjukkan siapa dirinya.

Kata sepupuku itu lagi, keadaan ekonomi seseorang bisa dinilai dari payet di kebaya yang dikenakannya dalam suatu pesta. Bila payetnya banyak berarti dia orang kaya, bila payetnya sedang berarti dia dari ekonomi menengah dan bila sama sekali tak ada payetnya, berarti fix, ini orang miskin!

Makin bayak payet, makin berkilau berarti makin bisa dipastikan dia orang berada.

Saudara sepupuku mengatakan itu dengan nada becanda tapi lumayan juga membuatku mikir.

Okelah, si ibu mempelai pria itu tadi adalah orang yang beneran kaya. Dia tak merasa perlu untuk membuktikan diri pada siapapun tentang keadaan ekonominya. Dia mau pake kebaya tanpa satu payet pun dia tetap terlihat anggun dengan aura orang kaya yang memang menempel kuat pada dirinya.

Bagaimana dengan aku?

Sebagaimana orang miskin pada umumnya, aku tak ingin terlihat miskin. Aku tak ingin terlihat seperti gembel. Aku ingin tampak wah dan memukau. Aku tak ingin kalah dari penampilan orang-orang.

Jadi aku sempat dilema saat akan memutuskan apakah akan mengenakan payet atau tidak pada kebaya yang aku jahit untuk hajatan adik ipar tersebut.

Sebenarnya, dana untuk membuat payet itu masih terjangkau secara keuangan bagiku. Namun, aku merasa hal itu tidak sesuai dengan apa yang ingin dilakukan oleh suara batinku.

Suara batinku mengajakku untuk mengikuti teladan ibu mempelai pria tadi, sederhana dan bersahaja. Tapi sebagian dari diriku menolaknya.

Aku dipenuhi kegalauan karena diriku tak utuh dalam mengambil keputusan.

Akhirnya aku mendapat pengertian dari salah satu ayat di Alkitab yang berkata begini:

Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah. (1 Timotius 2:9-10)

Lalu aku mengambil keputusan untuk tidak menggunakan payet apapun pada kebaya itu seperti yang sudah aku rencanakan sejak awal. Aku hanya beli bros yang biasa digunakan untuk kebaya model kutu baru dan memutuskan bahwa itu akan cukup.

Dan pada akhirnya aku pikir itu memang cukup baik kok. Kewajiban darimana bahwa kita harus memenuhi kebaya dengan segala jenis payet? Apakah itu hal yang cukup esensi?

Tentu saja tidak salah bagi orang yang merasa perlu untuk melakukan hal itu. Aku juga suka kebaya yang cantik dan berkilau.

Membuat gaun yang indah untuk tampil pantas tentu adalah hal yang baik. Hanya kadang motivasi itu bergeser menjadi untuk mencari nilai diri dan pengakuan dari orang lain. 

Yang kadang bikin kita susah sendiri dan kalau dipikir-pikir, buat apa juga sih?

 

No comments:

Post a Comment

Pelajaran untuk Tidak Mudah Menghakimi Orang Lain

(sumber: Unsplash)   “Abang udah tau belum berita tentang si X ini? Ternyata dia yang selingkuh tapi malah menuduh istrinya selingkuh. I...