Pekerjaan pertamaku (yang menghasilkan uang) adalah jadi tukang cuci. Waktu itu aku masih SMP. Aku nyuci baju seorang perantau yang bekerja sebagai nelayan di Sibolga, tempat aku dibesarkan. Pria ini udah kami anggap saudara karena dia sering datang ke rumah dan orangnya baik. Biasanya sekali atau dua kali seminggu dia pulang dari laut dan bawa baju kotornya untuk aku cuci.
Biasanya baju kotornya lumayan banyak. Tapi aku tak merasa keberatan dengan pekerjaan itu karena itu emang tugasku di rumah. Jadi aku dan saudara-saudaraku yang lain punya tanggung jawab masing-masing untuk kerjaan rumah. Ada yang tugasnya masak nasi, masak lauk, nyuci piring, nyapu rumah dan aku bertugas nyuci kain. Aku nyuci baju sekeluarga yang berjumlah 8 orang. Dan tambahan baju satu orang tak begitu masalah buatku, apalagi aku digaji untuk itu.
Gajiku sekitar 20 ribu tiap minggu atau tiap kali dia pulang dari laut. Bagiku itu jumlah yang lumayan banyak. Uangnya biasa aku gunakan untuk jajan, buat keperluan sekolah, buat beli majalah dan sebagian aku tabung.
Waktu itu aku udah mulai nabung di Bank. Namanya Bank Bumi Daya yang kemudian berubah jadi Bank Mandiri. Biasanya aku nunggu duitnya terkumpul minimal 10 ribu baru aku setor ke bank. Aku suka dengan suasana di bank yang adem, bersih dengan desain interior yang megah dan para pekerja di bank yang ramah dan rapi. Aku betah berlama-lama ngantri sambil mengamati suasana di bank itu.
Tapi ada satu hal yang aku tak suka setiap kali ke bank. Hal itu adalah rasa minder kalau lihat bapak-bapak yang mungkin seorang pengusaha masuk ke bank. Biasanya mereka pake celana pendek, sendal jepit, bawa kantong kresek berisi bergepok-gepok uang.
Kenapa minder? Karena aku merasa jumlah uang yang aku setorkan yang biasanya hanya 10 ribu itu tak ada apa-apanya sama sekali dibanding uang yang dibawa bapak-bapak itu. Apalagi kalau ngantri di teller agak lama karena ngitung duit si bapak yang banyak itu. Kan kelihatan tuh, teller lagi ngitung duit pake mesin penghitung duit, duitnya bisa sampai beberapa ikat. Kadang melihatnya itu aku jadi minder dan rasanya pengin pulang aja gak jadi nyetor 10 ribunya. Malu aja gitu sama diri sendiri dan sama teller banknya. Mungkin dia abis menangani transaksi ratusan juta, eh selanjutnya ngurusin setoran satu lembar 10 ribuan anak SMP 😁
Tapi aku berusaha menepis rasa minder itu dan tetap konsisten nabung walau pun dikit-dikit. Lagian, tak mungkin jugalah aku yang masih SMP membandingkan jumlah duitku dengan duitnya si bapak-bapak pengusaha itu. Tentulah kapasitas kami berbeda.
Dan aku percaya, setiap kita punya bagian masing-masing yang diberikan sesuai dengan kapasitas kita. Mungkin waktu itu kapasitasku adalah ngurusin duit 10 ribu, dan si pengusaha itu kapasitasnya ngurusin duit 100 juta, sesuai dengan kemampuan masing-masing dan sesuai dengan tujuan masing-masing. Mungkin kalau aku dikasih uang 100 juta waktu itu, aku juga bingung mau diapain itu duit. Sementara duit segitu dikasih ke seorang pengusaha, bisa dimaksimalkan untuk menghasilkan keuntungan usaha dan memberkati banyak karyawannya.
Seringkali aku merasa apa yang aku lakukan tidak berarti bila dibandingkan dengan orang lain yang menurutku jauh lebih hebat. Kadang perasaan itu bikin aku jadi ingin berhenti dan mundur…rasanya seperti sia-sia aja mencoba. Aku yang baru merintis sesuatu sementara orang lain udah kemana-mana.
Padahal kan aku gak seharusnya sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Urusanku adalah melakukan apa yang jadi bagianku dengan sebaik-baiknya. Berusaha memaksimalkan potensi yang Tuhan udah percayakan padaku agar bisa mempertanggungjawabkannya suatu hari nanti.
No comments:
Post a Comment