Berkembang Baik Sebelum Berkembang Biak

 


Aku sangat setuju bahwa seseorang yang mau menikah dan pengen punya anak sebaiknya adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Orang yang sudah pulih dari luka batin atau trauma apapun di masa lalu nya. Karena kalau tidak, dia berpotensi untuk menularkan luka itu pada anaknya nanti.

Nah, aku tak pernah menyadari kalau sebenarnya aku punya luka batin atau biasa disebut trauma masa kecil itu. Aku kira aku baik-baik saja, aku anggap semua yang terjadi di masa lalu, walaupun buruk, tidak ada pengaruhnya pada hidupku yang sekarang. 

Apalagi bila membandingkan diri dengan orang lain yang sepertinya penderitaannya lebih besar membuatku cenderung menyepelekan apa yang telah aku alami di masa lalu. Sehingga tak sadar bahwa ada luka yang belum sembuh dan perlu dibereskan.

Setelah menikah dan punya anak, barulah aku menyadari bahwa ada hal-hal di dalam diriku yang ke trigger oleh masalah tertentu.

Setelah punya anak, aku belajar banyak sekali hal baru termasuk menyadari siapa diriku yang sebenarnya. Kesabaran ku didorong hingga batas yang sering kali aku gagal pertahankan. Dan aku melihat ada satu sosok seperti monster di dalam diriku yang setiap kali marah, seperti begitu kuat dan ingin mendesak keluar, menguasai aku dengan ledakan amarah yang besar dan ingin bertindak tak terkendali untuk memuaskan semua kemarahan  itu.. 

Suatu kemarahan yang kadang tidak masuk akal dan tidak setimpal dengan masalah kecil yang sedang terjadi. Rasa marah itu kadang membuatku melakukan kesalahan yang sangat aku sesali setelahnya, yaitu bila aku membentak atau mencubit anakku hingga membuatnya menangis. 

Setiap kali aku kehilangan kendali, aku begitu menyesal dan merasa bersalah. Walaupun aku sudah minta maaf pada anakku, aku tetap sulit memaafkan diriku sendiri.

Aku sering bertanya-tanya, mengapa aku bisa semarah itu? Aku lalu mendapat pengertian bahwa kemarahan besar itu adalah akumulasi dari kemarahan-kemarahan yang tertahan dan tersimpan dalam diriku sejak masa kecilku. Rasa marah yang tak berani aku ekspresikan karena saat itu, hal itu bisa berakibat fatal. Aku membawa banyak luka batin dari pola pengasuhan yang abusive plus pengabaian emosional  di masa kecil.

Sebagai seorang ibu, aku tau bagaimana rasanya mengandung 9 bulan, berjuang antara hidup mati saat melahirkan, menyusui, dan segala bentuk upaya lain termasuk memastikan kebutuhan jasmani dan emosional anak terpenuhi. Apakah itu mudah? Tidak. Aku tau itu tidak mudah. Tapi aku tau, itu adalah kewajibanku. 

Karena memiliki anak ini adalah keinginanku dan semua yang kulakukan adalah konsekuensi wajar yang memang perlu ditanggung oleh orang yang ingin beranak. 

Saat ini mungkin kita tak melihat dampak dari kita mengabaikan, memukul atau memaki anak. Segera setelah anak nangis dia akan kembali ceria dan gelendotan ke kita seperti tak pernah terjadi apa-apa. 

But taukah kamu bagaimana hal itu akan mempengaruhi masa depannya? Bagaimana beratnya dia harus berjuang hanya untuk mencari rasa berharga. Kebutuhan yang paling basic yang belum terpenuhi sebelum dia bisa mengejar hal yang lebih esensi yaitu mencapai tujuan hidupnya.

Pengertian tentang pola pengasuhan yang salah yang pernah aku alami, bukan untuk membuatku pahit pada orangtuaku, tapi untuk membuatku mikir bagaimana aku sebagai orang tua tidak melakukan kesalahan yang sama pada anakku. 

Bila aku tau bagaimana rasanya diperlukan buruk seperti diriku waktu kecil dan bagaimana dampaknya pada pertumbuhan ku selanjutnya, maka aku tau pola itu tidak perlu diteruskan.

Aku tau luka itu memang bukan berasal dariku. Tapi untuk pulih adalah tanggung jawabku. Tak ada gunanya menunjuk siapa yang salah. Tak perlu juga aku menuntut pertanggung jawaban mereka atas apa yang telah mereka lakukan yang membuatku terluka. Aku tau orangtuaku sudah melakukan apa yang terbaik yang mereka mampu sesuai dengan apa yang mereka pahami dari apa yang mungkin juga mereka terima dari orangtuanya.

Aku mau move on dan fokus pada apa yang bisa kulakukan untuk memperbaiki diri dan menjadi orangtua yang lebih masuk akal untuk anakku.

Aku mulai belajar tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku, apa yang membuatku memiliki reaksi dan tindakan tertentu. Mengapa aku bisa sangat marah, panik, sedih hanya karena hal yang sebenarnya sepele. Dan bagaimana caranya memulihkan diri.

Aku hidup di era kemajuan teknologi yang membuatku bisa dengan mudah bisa mendapatkan berbagai sumber pelajaran tentang memulihkan diri dari trauma dan belajar  pola parenting yang baik. Ada podcast, ada YouTube, ada banyak buku yang bisa didapatkan secara online. Bahkan aku bisa therapy ke berbagai sumber. Aku mengerti lebih banyak karena informasi itu. 

Walau sudah makin mengerti, ternyata dalam mempraktekkannya aku mengalami perjuangan yang tidak mudah. Mengetahui apa yang benar belum tentu membuatmu bisa melakukan apa yang benar. Luka batin itu walaupun secara sadar aku tak ingin teruskan ke anakku, tapi secara tidak sadar aku ternyata sering melakukannya lagi. 

Butuh tekad yang kuat untuk memperbaiki diri. Yah aku mungkin tak mendapat teladan yang baik dari orangtuaku bagaimana cara mengasuh anak. Bagaimana cara mencintai yang sesungguhnya. Tapi aku mau belajar dan aku yakin aku pasti bisa.

Mungkin saat ini aku belum mencapai titik tujuan ideal ku, tapi bila tetap konsisten melangkah ke arah yang tepat, pada akhirnya aku akan tiba di sana. Dan trauma pengasuhan yang salah tidak perlu diteruskan pada generasiku berikutnya.


Popular posts from this blog

Menjadi Sahabat bagi Diri Sendiri dengan Perkataan Baik

Bertahan Hidup dan Tetap Waras adalah Suatu Pencapaian

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya