Ratapan Anak Menantu – Bagaimana Jika Mertua Tidak Menyukaimu?

 


    "Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja..."

Demikian kutipan dari lagu Ratapan Anak Tiri, yang menggambarkan kesedihan seorang anak karena perlakuan ibu tirinya.

Aku pikir, ratapan serupa sering kali juga dialami oleh banyak menantu perempuan terkait perlakuan ibu mertua mereka.

Kalau boleh membuat versi sendiri, mungkin judulnya, Ratapan Anak Menantu, dengan lirik:

    "Ibu mertua hanya cinta kepada anaknya saja..."

Ya, banyak menantu perempuan yang merasa tidak disukai oleh ibu mertua. Tidak sedikit pula ibu mertua yang secara sadar atau tanpa sadar memperlakukan menantunya secara tidak adil, yang berujung pada luka hati. 

Hubungan antara mertua dan menantu sering kali menjadi topik yang sensitif. Banyak yang berharap hubungan ini bisa harmonis seperti orang tua dan anak kandung, tapi realitanya tak selalu seindah harapan. 

Aku pun pernah berada di titik itu. Merasa kecewa, salah paham, bahkan terluka. Namun dari pengalaman tersebut, aku belajar banyak hal yang sangat berharga.

Tulisan ini adalah refleksi pribadi. Bukan untuk menyalahkan, apalagi menggurui. Tapi semoga bisa menjadi pengingat bahwa kita semua sama-sama sedang belajar.

Di hari pernikahanku, ibu mertua memberikanku gelang emas sebagai tanda mata, sambil berkata bahwa mulai hari itu aku akan dianggap sebagai anaknya sendiri.

Aku merasa sangat bahagia dan diterima, pikirku ibu mertuaku akan mencintaiku seperti anaknya sendiri. Alangkah indahnya jika hubungan ini bisa sehangat itu.

Namun, setelah pernikahan dimulai, kenyataan perlahan terungkap.

Melalui beberapa kejadian di bulan-bulan pertama pernikahan, aku mulai menyadari bahwa ibu mertuaku ternyata tidak benar-benar menganggap ku seperti anaknya sendiri. Aku merasa masih dianggap sebagai orang luar. Seseorang yang sekadar hadir untuk membantu dan mempermudah hidup anaknya, bukan sebagai bagian utuh dari keluarga.

Saat suamiku sakit, ia terlihat panik dan seolah menyalahkan ku mungkin dianggap kurang becus merawat anaknya dengan baik.

Ia juga kerap memberi nasihat yang tidak diminta, mulai dari cara merapikan rumah, cara memasak, hingga menyimpan makanan di kulkas. Dan semua itu, kurasa, semata-mata demi kesejahteraan anaknya, bukan karena peduli padaku. Jika ia benar peduli padaku, pastilah ia juga akan menasihati anaknya, bukan hanya aku, tentang hal-hal itu.

Dan puncaknya adalah pada saat moment mudik bersama saat aku baru lahiran dimana aku merasa keberadaanku begitu tertolak. Pada saat itu aku sampai pada kesimpulan bahwa ibu mertua tak menyukaiku, boro-boro mencintaiku seperti anaknya sendiri.

Rasa marah dan kecewa pun semakin menumpuk, membuatku akhirnya memutuskan untuk menjauh sejenak, tak menemui ibu mertuaku selama beberapa bulan. Rasanya, setiap kali bertemu dengannya, emosi dan energiku selalu terkuras. Aku merasa tak nyaman untuk bersikap manis, sementara hatiku terluka.

Selama beberapa bulan menjauh, aku mulai merasa lebih tenang. Panas di hati perlahan mereda. Aku pun mendapatkan banyak pemahaman baru yang membuatku bisa menyikapi keadaan dengan lebih bijak. Sekarang, hubunganku dengan ibu mertua menjadi lebih baik.

Apa saja yang aku pelajari dari hal ini? 

Ekspektasi yang tidak Realistis

Kekecewaan sering kali muncul dari harapan yang tidak sesuai kenyataan.

Aku punya ekspektasi tinggi terhadap hubungan mertua dan menantu, yang mungkin terlalu tinggi.

Awal menikah, aku sangat berharap bisa dekat dengan ibu mertua, bahkan membayangkan kami akan seperti ibu dan anak. Harapan itu muncul karena aku melihat hubungan yang sangat baik antara ibuku dan kakak iparku.

Ibuku sering ngobrol dan bertukar pikiran dengan kakak iparku tentang berbagai hal. Ibuku juga selalu melibatkan kakak iparku dalam diskusi keluarga. Bahkan saat ada konflik dalam rumah tangga, ibuku cenderung membela menantunya dan menegur anaknya sendiri.

Melihat itu, aku berharap ibu mertuaku juga akan memperlakukanku seperti itu.

Namun kenyataannya tidak. Saat aku dan suami bertengkar, dan entah bagaimana dia tau, dia justru langsung menasihatiku untuk tidak sering bertengkar, tanpa bertanya lebih dulu tentang apa yang sebenarnya terjadi atau bagaimana perasaanku.

Dari sini aku sadar, aku telah membuat ekspektasi yang tidak realistis. Tidak bijak membandingkan dua sosok yang berbeda latar belakang budaya, karakter, dan pengalaman hidup.

Introspeksi Diri

Saat merasa tidak disukai, naluri pertamaku adalah menyalahkan pihak lain. Tapi seiring waktu, aku mulai menyadari bahwa aku juga punya andil atas ketegangan yang terjadi.

Aku mungkin belum sepenuhnya memahami perbedaan latar belakang budaya kami. Sebagai orang Batak yang terbiasa berbicara lugas dan blak-blakan, aku kadang tidak menyadari bahwa cara komunikasiku bisa saja terasa kasar atau kurang sensitif bagi ibu mertuaku yang berasal dari Jawa Solo, yang lebih mengutamakan tutur kata halus dan hati-hati.

Aku juga pernah mengkritik pola pengasuhannya, yang menurutku kurang tepat. Seharusnya aku bisa lebih bijaksana dalam menyampaikan pendapat dan menghindari kata-kata yang mungkin menyinggung perasaannya..

Refleksi ini mengajarkanku bahwa membangun hubungan bukan hanya tentang meminta dipahami, tapi juga belajar memahami orang lain.

Terlalu Meromantisasi Hubungan 

Dalam bukunya Seni Bersikap Bodo Amat, Mark Manson menceritakan bagaimana dia sering merasa sedih dan kecewa setiap kali mengirim pesan ke kakaknya dan tidak segera dibalas.

Dia menganggap, jika pesan tidak segera dibalas, berarti kakaknya tidak menghargainya. Dalam persepsinya, hubungan saudara seharusnya saling memperhatikan, dan hal itu bisa dibuktikan dengan segera membalas pesan. Karena kakaknya membalas pesannya lama, Mark merasa tidak disayangi dan tidak dianggap penting.

Kadang, kita terlalu meromantisir suatu hubungan, menciptakan standar atau persyaratan bagaimana seharusnya hubungan itu berjalan, berdasarkan gambaran ideal kita. Padahal, persepsi kita tentang hubungan yang ideal bisa jadi berbeda dengan orang lain, tergantung latar belakang dan pengalaman mereka.

Misalnya, bagiku yang berasal dari budaya keluarga dimana urusan satu orang biasa diobrolin rame-rame dan dianggap masalah bersama, tidak dimasukkan dalam grup percakapan keluarga suami bisa membuatku merasa tidak dianggap atau tidak dilibatkan.

Mungkin bagi orang lain, itu bukan masalah. Tapi bagiku itu jadi masalah, karena aku punya persepsi bahwa hubungan keluarga harusnya begitu.

Pemahamanku akhirnya menyadarkanku bahwa ini semua hanya masalah perbedaan kebiasaan dan budaya keluarga. Nggak ada hubungannya dengan aku dianggap bagian dari keluarga atau tidak. 

Aku tidak bisa memaksakan ukuran bajuku ke orang lain. Tidak semua hubungan mertua menantu harus sesuai dengan apa yang aku anggap ideal itu dan tidak perlu dipaksakan juga.

Fokus pada Tujuan Pernikahan 

Tujuan utamaku dalam pernikahan adalah membangun rumah tangga yang harmonis, penuh cinta dan kasih sayang dengan pasanganku. Bukan untuk menjadi menantu atau ipar kesayangan. 

Ketegangan hubungan antara mertua dan menantu sempat mempengaruhi hubungan baikku dengan suami. karena suami tentulah tak suka bila istrinya mengeluh atau berkata hal kurang baik tentang ibunya. 

Aku menyadari bahwa aku perlu menjaga hati dan tetap memprioritaskan peran utamanya sebagai istri. Fokus untuk mengasihi dan mengurusi suami dan anakku.

Super Sensitif Terhadap Penolakan

Aku bertanya pada diriku, mengapa aku begitu sensitif terhadap penolakan? 

Seperti sangat bergantung pada penilaian orang lain. Kuatir tentang apakah orang lain menerima dan menyukaiku atau tidak. Seperti sangat butuh orang lain menyukaiku dan mengakui keberadaanku untuk membuatku merasa lebih baik tentang diriku sendiri. 

Makanya saat merasa tertolak, apalagi oleh seseorang yang dianggap penting, membuatku meradang oleh sakit hati yang begitu besar. Bagiku penolakan itu sangat menghancurkan rasa keberhargaan diriku secara keseluruhan sebagai seorang manusia.

Aku juga menyadari, bahwa aku super sensitif terhadap kritikan karena bagiku kritikan itu terdengar seperti penolakan. Dan menjadi masalah karena aku merasa  nasehat dari ibu mertua malah terdengar seperti kritikan. Setiap dinasehati aku merasa dikritik, merasa dianggap kurang baik, merasa ditolak. Padahal mungkin niatnya baik.

Hal itu mungkin berasal dari luka batin di masa lalu dimana aku sering merasa tertolak. Jadi sikap dan perkataan ibu mertua bukanlah penyebab utama aku begitu terluka tapi men trigger luka lama yang ternyata masih menganga. 

Love Yourself First

Kita seringkali bersikap tidak adil terhadap orang lain, berharap mereka bisa melakukan hal-hal yang belum kita bisa lakukan untuk diri kita sendiri. 

Apakah kita sudah benar-benar menyukai diri kita sendiri? Jika kita sendiri tidak bisa menerima dan mencintai diri kita, mengapa kita berharap orang lain yang akan melakukannya?

Ketika kamu bisa mencintai dirimu sendiri, pendapat orang lain tidak akan begitu memengaruhi. Kamu tidak akan merasa terganggu jika orang lain tidak menyukaimu. Sebaliknya, meskipun ribuan orang menyukaimu, jika kamu tidak menyukai dirimu sendiri, kamu tetap akan merasa kurang.

Hanya ketika kita bisa mencintai diri kita sendiri, kita bisa belajar menerima kekurangan dan kelebihan kita tanpa perlu bergantung pada penilaian orang lain.

Lalu aku tiba pada kesimpulan bahwa, nggak apa-apa kalau orang lain tidak menyukaiku, tidak menerimaku sebagai bagian, tidak memasukkanku dalam agenda nya. 

Yang paling penting adalah aku menyukai diriku sendiri, menerima diriku apa adanya dan melakukan apa yang berguna untuk kehidupanku. Menjadi seseorang yang akan selalu ada di pihakku. Seseorang yang akan selalu mencintai diriku apa adanya.

Hubungan yang Sehat

Hubungan mertua dan menantu tak harus sempurna. Kamu tidak harus menjadi bestie dengan ibu mertuamu. Yang terpenting adalah saling menghormati, keterbukaan dalam komunikasi dan kejujuran dalam hubungan tersebut. Jangan saling menyakiti, jangan berpura-pura, dan jangan memaksakan kedekatan jika itu terasa tidak alami..

Karena pada akhirnya, hubungan menantu dan mertua bukan soal seberapa dekat, tapi seberapa sehat hubungan itu dijalani.


When you stop expecting people to be perfect, you can like them for who they are. -Donald Miller

Popular posts from this blog

Bersinarlah dengan Cahayamu Sendiri

Menjadi Sahabat bagi Diri Sendiri dengan Perkataan Baik

Bertahan Hidup dan Tetap Waras adalah Suatu Pencapaian