Monday, May 13, 2024

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya

Suatu konflik dalam rumah tangga bisa berlangsung sementara atau mengakibatkan kerusakan permanen bila disikapi dengan cara yang salah.

Salah satu sikap salah yang malah memperkeruh keadaan adalah mengeluh dan menjelek-jelekkan pasangan kepada orang-orang atau khalayak umum.

Kepada orang yang cenderung tidak netral dalam menilai, misalnya kepada orang tua dan keluarga besar sendiri. Kepada orang yang tidak berkompeten menyelesaikan masalah, misalnya kepada anak-anak, teman atau tetangga. Bahkan kepada orang yang tidak berkepentingan, misalnya orang yang baru kenal di pasar atau netizen yang baca keluhan istri bila di share di media sosial.

Mungkin sang istri hanya ingin mencurahkan kegundahan hatinya. Atau mungkin berniat untuk balas dendam kepada suaminya. Karena tak kuasa membalas dengan cara lain, menjelekan suami dianggap menjadi cara paling ampuh.  

Setelah puas berkoar-koar ke semua orang yang ditemuinya tentang keburukan suaminya, untuk sementara si istri mungkin merasa lega dan plong hatinya. Apalagi bila dia berhasil mendapatkan simpati dari orang-orang, mungkin merasa mendapatkan pembelaan dan dukungan.

Akan tetapi, untuk jangka panjang, bagaimana dampak perbuatan itu terhadap anak-anaknya, terhadap reputasi suaminya dan terhadap kelangsungan pernikahan mereka? 

Apakah cara itu menyelesaikan masalah? Apakah akan memperbaiki perilaku suami?

Bagi kamu, istri, yang saat ini tengah dilanda konflik dengan suami dan berniat curhat atau mengumbar keburukan suamimu kepada khalayak ramai, tahan dulu. Baca dulu tulisan ini.

Disini aku share pendapatku terhadap dampak dari istri yang suka menjelekkan suami dan tips apa yang sebaiknya dilakukan saat ada konflik dan hati terasa nyesek. Jangan gegabah bertindak. Apalagi bila kamu tidak berencana mengakhiri pernikahan itu.

Dampak Terhadap Anak

Dari kecil aku sering mendengar ibuku menceritakan semua kejelekan bapakku. Hal itu menjadi dilemma dalam diriku karena sebenarnya saat itu aku bingung harus bersikap bagaimana. Karena anak-anak pada dasarnya menyayangi kedua orang tuanya. Aku sangat sayang pada ibuku dan tak ingin dia disakiti, tapi aku juga sayang pada bapakku dan tidak mengerti mengapa dia bertindak demikian.

Mengetahui konflik yang terjadi antara orang tua adalah suatu beban emosional tersendiri buatku.  Membuatku sedih, tertekan dan merasa tidak aman. Aku sebagai anak yang sering dicekoki tentang keburukan bapaknya juga bertumbuh dengan rasa minder, mengetahui bahwa aku hanya anak dari seorang pria brengsek. Apa yang bisa dibanggakan dalam diriku?

Aku pikir, reputasi seorang ayah juga bisa mempengaruhi perlakuan orang lain terhadap anaknya. Misalnya, bagaimana perlakuan kita saat bertemu dengan anak pendeta yang baik dengan anak seorang maling? Pada umumnya orang akan memperlakukan anak pendeta itu dengan lebih respect dibanding terhadap anak maling itu. Padahal anak itu tidak bertanggung jawab terhadap kesalahan ayahnya.

Dampak Terhadap Suami

Dalam buku Love & Respect tulisan Dr. Emerson Eggerich, dikatakan bahwa kebutuhan pria yang paling mendasar adalah untuk dihormati. Seorang pria akan merasa dicintai saat dia dihormati oleh istrinya.

Salah satu cara untuk mengungkapkan rasa respect pada suami adalah melalui cara istri berbicara tentang suaminya pada orang lain.

Cara istri berbicara tentang suami pada anak-anak, pada keluarga besar, pada teman-teman bisa mempengaruhi opini mereka terhadap suami. Apakah seorang anak akan respect pada ayahnya, apakah keluarga besar kita akan respect pada suami kita dipengaruhi oleh perkataan kita tentang suami. Karena segala baik buruk suami tentu sang istri yang paling tau.

Bagaimana gambaran suamimu di mata orang lain yang sedang kamu ciptakan dengan semua cerita-cerita burukmu tentang suami? Apakah suamimu kamu gambarkan sebagai pria tolol, pria brengsek atau sampah masyarakat?

Apakah orang-orang yang mendengar ceritamu tentang suamimu akan punya alasan untuk mengagumi atau menghargainya?

Saat kamu berbicara buruk tentang suamimu, orang-orang hanya mendengar cerita dari sudut pandangmu saja. Mereka tidak tau kebenarannya dari dua belah pihak. Namun mereka langsung ikutan membenci dan memandang buruk suamimu.

Bagaimana perasaan suami saat mengetahui istrinya  menjelek-jelekkannya di belakang? Tentu rasanya sakit hati dan menghancurkan harga dirinya. Hal itu seperti suatu penghianatan yang dilakukan oleh orang terdekatnya yang seharusnya menjaga nama baiknya. Alih-alih memperbaiki perilaku, suami malah bersikap defensive atau malah makin berulah. 

Dampak Terhadap Dirimu Sendiri

Ayat Alkitab ini sering ditekankan dalam acara pemberkatan pernikahan Kristen,

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Sepasang suami istri adalah satu tim. Bila pasanganmu buruk, itu berarti keburukanmu juga dan sebaliknya. Mengumbar kejelekan suamimu pada orang lain sama aja kamu mengumbar keburukanmu sendiri.

Salah satu peranmu sebagai istri adalah sebagai penolong suami. Saat suamimu melakukan suatu kesalahan, sebaiknya kamu menolongnya untuk bangkit dan memperbaiki diri, bukan malah bertindak sebagai musuh dalam selimut yang menikamnya dari belakang.

Dampak Terhadap Kelangsungan Pernikahan

Saat kamu curhat pada orangtua atau keluarga besarmu, mereka secara naluriah pasti akan membelamu. Mereka akan berusaha melindungimu. Mereka tak segan-segan ikut mengata-ngatai keburukan suamimu di depanmu sendiri dengan perasaan bahwa mereka sedang berbuat baik padamu. Untuk membuktikan bahwa mereka berada di pihakmu mereka lalu bersikap memusuhi suamimu. Saat bertemu suamimu, mereka juga akan memperlakukannya dengan buruk.

Suamimu yang mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga besarmu akan merasa sakit hati dan menjadi kehilangan niat baik untuk memperbaiki keadaan.

Karena itu konflik suami istri terjadi lagi, lalu kamu curhat lagi ke orangtuamu dan saudaramu. Lama-lama mereka bosan dengan kisah penderitaanmu berurusan dengan suamimu, akhirnya mereka menyarankanmu untuk berpisah saja. Hasilnya perpecahan. 


Lalu Harus Bagaimana?

Mungkin kamu bertanya,

“Masa nggak bisa curhat ke orang lain?”

“Dadaku nyesek melihat kelakuan pria itu. Aku perlu mencurahkan isi hati biar lebih plong!”

Tentu saja curhat tidak salah. Masalahnya adalah, apakah kamu curhat ke orang yang tepat? Apakah perlu curhat pada semua orang? Apakah semua tetangga perlu tau konflik keluarga dan kelakuan buruk suamimu?

Saat kamu curhat pada teman-teman atau tetangga, di depanmu mungkin mereka bersikap simpatik dan membelamu. Tapi bisa saja hanya karena mereka suka drama. Bukan tidak mungkin mereka malah menertawakanmu di belakang dan menjadikanmu sebagai bahan gossip. Nggak semua orang peduli dan berkompeten untuk menyelesaikan masalah yang sedang kamu hadapi.

Jadilah selektif dalam memilih pada siapa harus bicara. Bicaralah pada orang-orang yang bisa dipercaya untuk menyimpan rahasiamu, bersikap netral dan berkompeten dalam mencari solusi masalahmu.

Bagaimana Kalau Suami Memang Berkelakuan Buruk?

Suatu kali, setelah aku dewasa dan menikah, aku berkata pada ibuku bahwa seharusnya dulu ibuku tidak menjelek-jelekkan bapakku kepada orang-orang.

Lalu ibuku bertanya, “Gimana kalau memang suaminya berkelakuan buruk?"

Tentu ada keadaan bahwa seorang istri tidak bisa lagi menutupi keburukan suami saat orang lain melihat sendiri keburukan itu.

Misalnya bila hal itu terkait suami yang melakukan KDRT, seorang istri bisa langsung lapor ke polisi, karena Itu sudah masuk ranah hukum. 

Mungkin akhirnya orang-orang jadi tau tapi meskipun begitu, kamu kan tak perlu klarifikasi tentang itu ke semua orang. Mereka tak harus tau detail konflik rumah tangga kalian kan? Kamu tak perlu menjelaskannya kepada orang-orang yang tidak berkepentingan. Tidak perlu disiarkan ke seluruh dunia dengan share di medsos.Tidak perlu terus-menerus dibahas dalam setiap kesempatan.

Fokus Pada Solusi

Biasanya kesalahan suami terasa menjadi begitu berat saat kamu mengingat-ingat lagi semua kesalahannya dari masa lalu. Akumulasi kesalahan yang menjadi begitu besar dan sulit untuk dimaafkan.

Fokus pada masalah yang sedang dihadapi bisa membuat masalah menjadi lebih ringan. Bila misalnya kesalahan suami adalah A, maka fokus mencari solusi untuk kesalahan A tersebut. Tak perlu mengungkit semua kesalahan A-Z yang dulu pernah dia lakukan. Selesaikan satu masalah dalam satu waktu. Jangan mengungkit lagi masalah yang sudah lalu.

Fokus Pada Kebaikan Suami

Apa yang keluar dari mulut seseorang berasal dari apa yang memenuhi hatinya. Bila mulut berkata hanya hal negative tentang suami, berarti hati dan pikiranmu juga hanya focus pada keburukannya. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan termasuk suamimu. Termasuk dirimu. Mengapa hanya fokus pada kekurangannya? Coba sebutkan hal-hal yang baik dalam diri suamimu yang untuk itu kamu bersyukur.

Fokus Pada Hal yang Bisa Kamu Kendalikan

Pada saat keadaan di sekitarmu belum berubah, maka kamulah yang harus berubah. Sikap mu adalah satu-satunya hal yang bisa kamu kendalikan. Perkataanmu adalah sesuatu yang bisa kamu kendalikan. Perkatakanlah kata-kata berkat untuk suamimu. Jangan mencaci maki, menyumpahi dan sejenisnya. Ingat, ucapan adalah doa. Saat kamu berkali-kali berkata, “Dasar laki-laki brengsek!” Lama-lama suamimu beneran jadi brengsek.

Mengeluh atau menjelek-jelekkan pasangan kamu adalah hal buruk untuk pernikahanmu. Walau terkadang pernikahan dilanda badai dan rasanya menjadi begitu berat dan mengecewakan, namun istri tetap perlu menjaga martabat suami dengan hanya berbicara tentang dia dalam cara yang baik. 


Friday, May 3, 2024

Pelajaran untuk Tidak Mudah Menghakimi Orang Lain

(sumber: Unsplash)


 

“Abang udah tau belum berita tentang si X ini? Ternyata dia yang selingkuh tapi malah menuduh istrinya selingkuh. Ini buktinya dia malah nikah duluan dan istri barunya udah hamil duluan! Parah banget nggak sih?”

Dengan panas hati aku berkata begitu ke suami setelah baca berita tentang seorang tokoh publik yang ketika itu tengah menjadi sorotan karena perceraiannya dengan istrinya.

Pria itu menceraikan istrinya karena katanya si istri telah terbukti berselingkuh. Namun tak berapa lama kemudian pria ini menikah dengan wanita lain, yang adalah asisten pribadi sang istri!

Hujatan dan kritik pedas dari netizen yang pada umumnya adalah kaum wanita / istri memenuhi kolom komentar di berita tersebut. Membuatku juga tersulut emosi pada sosok pria yang memperlakukan istrinya dengan zalim itu.

Makanya hal itu aku mau bahas dengan suami. Namun suami hanya merespon, “Oh gitu ya..”

Aku kurang puas dengan respon yang terlalu tenang itu. Aku lanjut menjelaskan segala informasi yang aku baca di media plus asumsi pribadiku tentang ketidakpatutan perbuatan itu.

Namun lagi-lagi, masih dengan tenang, suami hanya berkata,

“Yah, berita-berita itu kan belum tentu benar. Kita kan belum dengar langsung dari pihak-pihak yang terlibat”

Aku langsung emosi mendengar jawaban itu,

“Masa sih masih diragukan bila semua media sudah berkata demikian? Kan nggak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Masa media mau ngarang-ngarang cerita? Kan mereka juga perlu menjaga integritas!”

Lalu suami menjelaskan lagi, masih dengan tenang dan tak sedikit pun terpengaruhi,

“Media berita kan juga punya kepentingan. Mungkin biar banyak yang baca. Mungkin biar dapat uang. Jadi lebih banyak mengangkat berita yang kontroversial. Kita kan nggak tau langsung ceritanya dari pihak yang terkait. Kita juga nggak ada di posisi mereka dan nggak tau apa yang jadi alasan mereka berbuat demikian. Jadi nggak boleh langsung mengambil kesimpulan dan menghakimi."

Aku terdiam dengan hati dongkol mendengar jawabannya yang sok diplomatis itu. Kesal rasanya niatku untuk bergibah terpaksa padam.

Aku sadari, aku tak tertarik untuk melakukan investigasi terkait benar tidaknya berita itu. Penting amat sih? Aku hanya sedang ingin melampiaskan hasrat bergibah.

Dan respon tenang, netral dan tidak memihak yang ditunjukkan suami menurutku nggak asik banget. Tau nggak sih respon yang aku harapkan?

Harusnya tuh dia menanggapi dengan ekspresi kaget, menatap fokus padaku dengan rasa ingin tau yang besar lalu ikutan tersulut emosi dan berkata,

"Masa sih? Ya ampun parah banget ya si pria itu!”

Lalu pembicaraan bisa berlanjut makin seru dan cerita itu bisa digoreng menjadi semakin nikmat.

Seperti biasanya bila bergibah dengan teman atau ibu-ibu tetangga. Satu topik bisa dikupas tuntas dan setiap orang akan mengeluarkan opini masing-masing yang makin lama ngobrol bisa makin liar imajinasinya.

Selama ini, walau aku bukan narasumber yang baik karena jarang punya info gosip terbaru, tapi aku suka dengerin orang bergosip. Aku dalam hati ikutan menilai orang yang sedang digosipin itu. Bila seseorang digosipin berkelakuan buruk, aku pun segera menilai buruk orang tersebut tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya.

Di jaman media sosial ini juga sering kali baca berita viral tentang keburukan tokoh tertentu dan dalam hati langsung menilai buruk orang tersebut. Walau aku tak menghujat di kolom komentar namun dalam hati aku menyimpan persepsi buruk pada orang tersebut.



(Sumber: Unsplash)

Setelah aku menikah, suami adalah orang yang dengannya aku paling banyak ngobrol. Jadi aku juga suka bahas gosip yang lagi viral, baik itu di kalangan tokoh publik, anggota keluarga atau di lingkungan sekitar. Tapi selalu aku mendapati respon yang kurang greget.

Awalnya aku sering protes bahwa respon nya nggak asik. Tapi lama-lama ternyata hal itu menular juga padaku. Saat ini aku menjadi lebih netral, tidak terlalu mudah percaya dan terpengaruh pada gosip atau berita tentang kejelekan orang lain yang aku baca atau dengar.

Aku mulai menyadari bahwa bergibah itu adalah tindakan yang jahat. Apalagi bila kita di belakangnya bergibah namun di depan orang nya bersikap sok ramah. Itu munafik.

Hal itu juga menurutku tidak adil. Saat kita menceritakan keburukan seseorang, hal itu akan mempengaruhi persepsi dan sikap si pendengar terhadap orang tersebut. Misalnya jadi benci dan ikut-ikutan memusuhi.

Aku pernah mengalami diperlakukan tidak baik oleh sekumpulan orang hanya karena salah satu dari genk itu mengatakan hal yang buruk tentangku. Mungkin demi rasa solidaritas, anggota genk nya yang lain pun jadi ikut memusuhiku padahal kami tak ada masalah dan mereka belum tau kebenarannya dari pihakku.

Aku juga mulai belajar untuk berempati setelah dengar podcast nya Daniel Mananta yaitu Daniel Tetangga Kamu. Bintang tamunya pada episode awal-awal adalah tokoh-tokoh yang pernah banyak dihujat netizen karena berita kontroversial kehidupan mereka.

Di podcast itu mereka cerita bagaimana mereka berjuang melewati masa-masa berat itu. Bahkan ada yang pernah berniat bunuh diri karena tak kuat menanggung cobaan berat dihujat para netizen itu.

Mengapa seseorang merasa berhak berkata kasar, memaki dan menyumpahi orang lain hanya karena dengar atau baca berita yang belum tentu juga kebenarannya?

Kita bahkan belum tau apakah seseorang itu benar-benar salah.

Atau mungkin dia memang telah berbuat salah, lalu apa hak kita menghakimi orang lain?

Mereka juga mungkin telah menyesali dan menanggung akibat dari keputusan mereka yang salah. Bahkan mungkin ada yang depresi dan ingin mengakhiri hidupnya.

Tindakan menghujat dan menghakimi itu bagi kita mungkin hal ringan tapi tidak bagi mereka yang mengalaminya.

Janganlah menghakimi orang lain kecuali kamu memang berprofesi sebagai hakim.


“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975.)

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya

Suatu konflik dalam rumah tangga bisa berlangsung sementara atau mengakibatkan kerusakan permanen bila disikapi dengan cara yang salah. ...