Selama ini aku adalah penyuka acara Forum Group Discussion alias gibah. Walau aku bukan narasumber yang baik karena jarang punya info gossip terbaru, tapi aku suka dengerin orang bergosip. Aku dalam hati ikutan menilai orang yang sedang digosipin itu. Bila seseorang digosipin berkelakuan buruk, aku pun segera menilai buruk orang tersebut tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya.
Informasi tentang keburukan seseorang jadinya mempengaruhi persepsiku terhadap orang itu dan mempengaruhi juga bagaimana aku bersikap padanya. Misalnya aku jadi ikutan memusuhi orang tersebut padahal dia nggak ada masalah apa-apa denganku.
Sebenarnya itu suatu hal yang jahat dan tidak adil. Karena aku pun pernah mengalami hal itu. Diperlakukan tidak baik oleh sekumpulan orang hanya karena salah satu dari genk itu mengatakan hal yang buruk tentangku. Mungkin demi rasa solidaritas, anggota genk nya yang lain pun jadi ikut memusuhiku padahal kami tak ada masalah.
Setelah aku menikah, aku mendapatkan satu pelajaran berharga dari suamiku untuk lebih bersikap adil dalam menilai seseorang.
Prosesnya tidak instan dan tidak dengan cara dinasehati, tapi dengan melihat bagaimana suami meresponiku setiap kali aku mengangkat isu gossip yang tengah marak di media sosial, atau pun tengah seru digunjingkan orang-orang di sekitarku.
Contohnya:
Beberapa waktu yang lalu aku baca berita di tentang seorang pria, tokoh public, yang sedang disorot karena perceraiannya dengan istrinya. Pria itu menceraikan istrinya karena katanya si istri telah terbukti berselingkuh. Ternyata tak berapa lama kemudian pria ini menikah dengan wanita lain yang tadinya adalah asisten pribadi sang istri.
Hampir semua cerita yang aku baca bersifat memojokkan pria ini, bahwa dialah yang sebenarnya berbuat zalim dan selingkuh dari istrinya. Aku juga dengan cepat menilai demikian. Pria ini sungguh terlalu!
Dengan panas hati aku membahas tentang info yang aku baca itu kepada suami,
“Abang udah tau belum berita tentang si pria ini? Masa ternyata dia yang selingkuh tapi dia malah menuduh istrinya selingkuh. Ini buktinya dia malah nikah duluan. Parah banget nggak sih?”
Menanggapi itu suami hanya berguman, “Oh gitu ya..”
Aku lanjut berkomentar terkait semua isi berita yang aku baca, masih dengan panas hati.
Namun suami dengan tenang hanya menanggapi, “Yah, berita-berita itu kan belum tentu benar. Kita kan belum dengar langsung dari pihak-pihak yang terlibat”
Aku langsung emosi mendengar jawaban itu, “Masa sih masih diragukan bila semua media sudah berkata demikian? Kan nggak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Masa media mau ngarang-ngarang cerita?”
Lalu suami menjelaskan lagi, masih dengan tenang dan tak sedikit pun terpengaruhi “Nah, itu. Media kan punya kepentingan. Biar banyak yang baca. Mungkin biar dapat uang. Jadi mereka lebih banyak bikin berita yang kontroversial.”
Aku terdiam dengan hati dongkol mendengar jawabannya yang sok diplomatis itu. Kesal rasanya niatku untuk bergibah terpaksa padam.
Lalu aku berkata pada suami, “Nggak asik banget sih bergibah sama kamu. Tau nggak sih respon yang aku harapkan? Harusnya tuh kamu jawabnya gini: Masa sih? Ya ampun parah banget ya si pria itu!”
Sehingga pembicaraan semakin panas dan cerita itu bisa digoreng menjadi semakin nikmat. Seperti yang biasanya terjadi bila bergibah dengan teman-temanku.
Kali lain, aku mengangkat topik tentang kelakuan salah satu saudara yang menurutku tak bisa diterima. Namun lagi-lagi dengan tenang dia menanggapi, “Itu kan baru dengar dari satu pihak. Kita belum mendengar dari sudut pandang pihak yang lain. Pasti ada alasan kenapa dia berbuat demikian.”
Hal serupa itu beberapa kali terjadi. Aku menyampaikan suatu topik yang sedang rame di media yang bikin aku segera panas hati. Tapi setiap kali aku cerita ke suami, jawabannya pasti selalu netral, tidak memihak dan tidak terpengaruhi.
Awalnya aku sering protes, bahwa respon nya nggak asik. Tapi tanpa kusadari, lama-lama ternyata hal itu menular juga padaku.
Saat ini setiap kali aku membaca atau mendengar gossip tentang seseorang, aku tidak lagi begitu cepat terpengaruhi untuk menilai buruk orang tersebut.
Bila biasanya seseorang dicerca karena suatu kesalahan, yang tadinya membuatku ikut mencerca dalam hati, kali ini aku jadi lebih netral.
Aku menjadi berpikir lebih terbuka, tidak mudah tersulut dan percaya begitu saja dengan info negatif tentang seseorang. Mulai belajar untuk menilai dengan lebih adil. Berpikir netral, tidak berpihak ke manapun dan mencari kebenaran dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Sehingga bisa menilai dengan lebih baik dan tidak mudah menghakimi orang lain.
Mungkin seperti itu yang dimaksud oleh Pramoedya Ananta Toer dalam kutipan berikut ini:
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975.)