Friday, May 3, 2024

Pelajaran untuk Tidak Mudah Menghakimi Orang Lain

(Sumber: Unsplash)

Selama ini aku adalah penyuka acara Forum Group Discussion alias gibah. Walau aku bukan narasumber yang baik karena jarang punya info gossip terbaru, tapi aku suka dengerin orang bergosip. Aku dalam hati ikutan menilai orang yang sedang digosipin itu. Bila seseorang digosipin berkelakuan buruk, aku pun segera menilai buruk orang tersebut tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya.

Informasi tentang keburukan seseorang jadinya mempengaruhi persepsiku terhadap orang itu dan mempengaruhi juga bagaimana aku bersikap padanya. Misalnya aku jadi ikutan memusuhi orang tersebut padahal dia nggak ada masalah apa-apa denganku.

Sebenarnya itu suatu hal yang jahat dan tidak adil. Karena aku pun pernah mengalami hal itu. Diperlakukan tidak baik oleh sekumpulan orang hanya karena salah satu dari genk itu mengatakan hal yang buruk tentangku. Mungkin demi rasa solidaritas, anggota genk nya yang lain pun jadi ikut memusuhiku padahal kami tak ada masalah.

Setelah aku menikah, aku mendapatkan satu pelajaran berharga dari suamiku untuk lebih bersikap adil  dalam menilai seseorang.

Prosesnya tidak instan dan tidak dengan cara dinasehati, tapi dengan melihat bagaimana suami meresponiku setiap kali aku mengangkat isu gossip yang tengah marak di media sosial, atau pun tengah seru digunjingkan orang-orang di sekitarku.

Contohnya:

Beberapa waktu yang lalu aku baca berita di tentang seorang pria, tokoh public, yang sedang disorot karena perceraiannya dengan istrinya. Pria itu menceraikan istrinya karena katanya si istri telah terbukti berselingkuh. Ternyata tak berapa lama kemudian pria ini menikah dengan wanita lain yang tadinya adalah asisten pribadi sang istri.

Hampir semua cerita yang aku baca bersifat memojokkan pria ini, bahwa dialah yang sebenarnya berbuat zalim dan selingkuh dari istrinya. Aku juga dengan cepat menilai demikian. Pria ini sungguh terlalu!

Dengan panas hati aku membahas tentang info yang aku baca itu kepada suami,

“Abang udah tau belum berita tentang si pria ini? Masa ternyata dia yang selingkuh tapi dia malah menuduh istrinya selingkuh. Ini buktinya dia malah nikah duluan. Parah banget nggak sih?”

Menanggapi itu suami hanya berguman, “Oh gitu ya..”

Aku lanjut berkomentar terkait semua isi berita yang aku baca, masih dengan panas hati.

Namun suami dengan tenang hanya menanggapi, “Yah, berita-berita itu kan belum tentu benar. Kita kan belum dengar langsung dari pihak-pihak yang terlibat”

Aku langsung emosi mendengar jawaban itu, “Masa sih masih diragukan bila semua media sudah berkata demikian? Kan nggak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Masa media mau ngarang-ngarang cerita?”

Lalu suami menjelaskan lagi, masih dengan tenang dan tak sedikit pun terpengaruhi “Nah, itu. Media kan punya kepentingan. Biar banyak yang baca. Mungkin biar dapat uang. Jadi mereka lebih banyak bikin berita yang kontroversial.”

Aku terdiam dengan hati dongkol mendengar jawabannya yang sok diplomatis itu. Kesal rasanya niatku untuk bergibah terpaksa padam.

Lalu aku berkata pada suami, “Nggak asik banget sih bergibah sama kamu. Tau nggak sih respon yang aku harapkan? Harusnya tuh kamu jawabnya gini: Masa sih? Ya ampun parah banget ya si pria itu!”

Sehingga pembicaraan semakin panas dan cerita itu bisa digoreng menjadi semakin nikmat. Seperti yang biasanya terjadi bila bergibah dengan teman-temanku.

Kali lain, aku mengangkat topik tentang kelakuan salah satu saudara yang menurutku tak bisa diterima. Namun lagi-lagi dengan tenang dia menanggapi, “Itu kan baru dengar dari satu pihak. Kita belum mendengar dari sudut pandang pihak yang lain. Pasti ada alasan kenapa dia berbuat demikian.”

Hal serupa itu beberapa kali terjadi. Aku menyampaikan suatu topik yang sedang rame di media yang bikin aku segera panas hati. Tapi setiap kali aku cerita ke suami, jawabannya pasti selalu netral, tidak memihak dan tidak terpengaruhi.

Awalnya aku sering protes, bahwa respon nya nggak asik. Tapi tanpa kusadari, lama-lama ternyata hal itu menular juga padaku.


Saat ini setiap kali aku membaca atau mendengar gossip tentang seseorang, aku tidak lagi begitu cepat terpengaruhi untuk menilai buruk orang tersebut.

Bila biasanya seseorang dicerca karena suatu kesalahan, yang tadinya membuatku ikut mencerca dalam hati, kali ini aku jadi lebih netral.

Aku menjadi berpikir lebih terbuka, tidak mudah tersulut dan percaya begitu saja dengan info negatif tentang seseorang. Mulai belajar untuk menilai dengan lebih adil. Berpikir netral, tidak berpihak ke manapun dan mencari kebenaran dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Sehingga bisa menilai dengan lebih baik dan tidak mudah menghakimi orang lain.

Mungkin seperti itu yang dimaksud oleh Pramoedya Ananta Toer dalam kutipan berikut ini:

 “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975.)

 

Thursday, April 25, 2024

Allow God to Bless You – Menerima Berkat Tuhan dengan Sukacita

Accept gratefully

When we give cheerfully and accept gratefully, everyone is blessed.” – Maya Angelou

Aku punya tetangga, seorang wanita yang kemurahan hatinya bisa dideteksi dengan cepat olehku sejak awal kami berada di lingkungan ini.

Awalnya saat aku bagi-bagi kue buatanku ke para tetangga termasuk dia. Mereka semua menerima dengan senang hati dan mengucapkan terima kasih. Namun berbeda dengan tetangga lain, tak lama kemudian wanita ini memberikan ku makanan kue-kue juga. Dan jumlahnya lebih banyak dibanding yang aku berikan. Ketika pertama kali menerima itu, aku sangat senang. Dalam hatiku berkata, ini nih model tetangga idamanku. Hubungan per tetangga an memang harus take and give.

Akan tetapi seiring berjalan waktu, aku jadi merasa agak segan memberinya sesuatu. Beberapa kali aku ngasih kue ke wanita itu, tak lama setelah itu dia selalu memberikan balasan kiriman kue yang jauh lebih banyak. Seolah berlomba untuk memberi lebih banyak dari yang dia terima.

Pernah suatu kali, aku beri dia 2 potong cake, tak lama kemudian dia membalasnya dengan memberikanku satu piring penuh donat, beserta piringnya dikasih.

Aku mikir, maksudku memberi padanya kan tulus, tak ada niat biar dapat balasan. Kenyataan bahwa dia selalu balas dengan lebih heboh membuat aku merasa seolah pemberianku adalah beban baginya. Bukan lagi suatu berkat.

Beban karena tiap dia terima sesuatu dia jadi mikir harus balas pakai apa. Kalau dia ngasih sekedarnya aja sesuai dengan makanan apa yang lagi dia masak sih nggak apa-apa, tapi ini kayaknya dia khusus beli hanya untuk memberikan balasan atas pemberian ku sebelumnya.

Karena itu aku jadi jarang ngasih makanan lagi ke dia. Bukan karena aku tak mengasihinya. Justru karena aku mengasihinya, aku tak ingin membebaninya dengan keharusan membalas. Tidak memberi kue-kue itu menurutku adalah suatu bentuk meringankan beban sang tetangga yang begitu murah hati ini.

Saat ini aku sedang merenungkan sikap wanita ini terkait diriku sendiri.

Selama ini aku punya prinsip, lebih berkat memberi daripada menerima. Kalau aku tak bisa memberkati orang lain, setidaknya aku tak nyusahin. Karena itu aku agak terbeban juga kalau ada orang yang memberi sesuatu kepadaku.

Bukan saja suatu pemberian besar, pemberian kecil sekedar ngasih tebengan aja aku jadi mikir, “Aduh, gimana cara balasnya kebaikan orang ini?” Apalagi kalau suatu pemberian yang secara materi bernilai agak mahal. Misal dikasih kado, ditraktir makan dll.

Setelah menikah, beban itu malah lebih banyak lagi. Aku bukan hanya menghitung pemberian orang lain kepadaku, tapi juga pemberian mereka kepada suamiku dan anak kami. Semua itu terasa menjadi beban bagiku pribadi yang aku tuntut pada diriku untuk membalasnya pada orang tersebut. Seolah aku punya utang.

Aku memang senang dapat pemberian dari orang lain. Mendapatkan sesuatu secara gratis. Tapi rasa senang yang aku dapatkan kadang tak sebanding dengan beban yang mengikutinya. Beban untuk segera membalasnya. Dan saat aku belum bisa membalasnya, aku merasa susah hati.

Aku punya teman di gereja yang suka ngajakin makan sepulang ibadah. Sekali dua kali sih aku oke untuk ditraktir. Tapi kalau keseringan aku jadi merasa nggak enak. Sering aku menolak ajakannya.

“Nggak enak ah, ditraktir mulu. Aku nggak nyaman.”

Begitu biasa aku berkata pada suami untuk menolak ajakan mereka. Aku ingin sesekali kami yang bayarin, tapi kenyataan bahwa keuangan kami masih begitu ngepas membuatku nggak tau kapan kami bisa mentraktir mereka balik sesuai dengan harga makanan di tempat yang mereka biasa traktir kami.

Jadi aku memilih nggak usah mau ditraktir lagi biar beban utang yang harus aku bayar tidak semakin menumpuk.

Selama ini aku tak menyadari dampak buruk dari sikap begitu. Aku pikir itu memang seharusnya. Karena aku tak ingin memiliki mental gratisan. Tapi kemudian aku sadar, caraku menyikapi pemberian orang lain ternyata kurang tepat dan seperti ingin membatasi berkat Tuhan dalam hidupku. 

Grocery (Sumber: Unsplash)

Suatu hari anakku diajak jajan sama Om nya. Adik iparku. Mereka memang sangat baik pada anakku. Saat mereka pulang, mereka bawa kantong belanja penuh makanan. Ini jajan bukan sembarang jajan. Ada beberapa jenis makanan dalam jumlah besar, cukup untuk kebutuhan jajan anak sebulan.

Tentu saja aku senang mereka melakukan kebaikan itu pada anakku. Tapi kemudian, lagi-lagi aku merasa terbebani.

“Aduh...gimana aku harus membalas semua kebaikan ini?”

Aku terduduk agak lama sambil memandangi tas belanja penuh makanan itu. Bukan lagi dipenuhi rasa senang, aku malah menyesali keadaanku. Kenapa aku masih miskin aja sih. Aku juga ingin ngasih ke orang-orang. Hal-hal seperti sungut-sungut itu memenuhi pikiranku. Membuatku susah hati.

Suamiku bertanya, “Kamu kenapa, kok tampak muram?”

Aku menjelaskan bahwa aku senang menerima pemberian orang lain, tapi menjadi merasa terbebani setelahnya. Aku bertanya pada suami, “Apakah ini berarti aku sombong?”

Suami berkata, itu adalah hal yang benar. Memang kita harus memikirkan untuk membalas kebaikan orang lain.

Namun jawaban itu kurang memuaskan bagiku. Aku masih duduk merenung di depan tas belanja itu, sampai akhirnya suara dalam batinku berkata kepadaku,

"Allow God to bless you!"

Ijinkan Tuhan memberkatimu.

Ijinkan berkat Tuhan mengalir dalam hidupmu

Suara itu terngiang dalam hatiku dan aku menjadi sadar. Iya juga, respon aku ini salah.

Dikasih sesuatu sama Tuhan kok bukannya jadi seneng tapi malah jadi susah?

Dimana rasa bersyukurku?

Tuhan bisa memberkatiku melalui banyak cara, termasuk melalui orang lain. Semua kebaikan itu adalah berkat dari Tuhan yang Dia salurkan melalui orang-orang di sekitarku. Mereka juga nggak akan ngasih kok kalau bukan Tuhan yang menggerakkan hati mereka. So just enjoy it. Just say thank you!

Note: pemberian disini tidak berlaku untuk hal gratifikasi, penyuapan atau hal lain yang mengarah pada tindakan korupsi ya. Hal seperti itu tentu tak boleh diterima.

Aku jadi ingat di tetanggaku tadi, yang karena selalu balas pemberian membuatku segan ngasih pemberian lagi. Gimana kalau Tuhan menilai sikapku seperti dia? Dikasih sesuatu biar aku senang tapi aku malah jadi susah? Bisa-bisa, demi rasa cinta Nya padaku, Tuhan jadinya nggak ngasih berkat karena malah bikin aku merasa terbenani.

Aku tetap setuju bahwa hubungan yang seimbang adalah hubungan take and give bukan take and take atau give and give. Namun aku juga mikir, bila seseorang ngasih aku A, aku tak harus balas dengan ngasih A juga kan? Aku bisa memberi hal lain yang sesuai kemampuanku.

Atau bahkan, aku tak harus membalas pemberian orang lain. Aku cukup mengucapkan terima kasih yang tulus dan mengirimkan doa terbaik bagi mereka.

Bila seseorang memberiku A dan aku juga membalas memberinya A, maka orang itu hanya mendapatkan apa yang diberikannya kembali. Namun bila aku tidak membalasnya, maka sebenarnya aku sedang membiarkan Tuhan yang membalas kebaikan orang tersebut.  Sesuai dengan kemahakayaan Tuhan, Dia bisa memberikan balasan yang jauh lebih besar lagi.

Dengan tidak harus membalas, aku sedang mengijinkan berkat Tuhan mengalir pada orang tersebut.

Nikmatilah berkat-berkat Tuhan dengan penuh bersukacita dan rasa syukur. Ijinkan Tuhan memberkatimu dan memberkati orang-orang yang bermurah hati padamu.

Friday, April 19, 2024

Price and Value – Karakter Seorang Pria yang Lebih Berharga Dibanding Uang

Uang (sumber: Unsplash)
 

 A Gem Is Always A Gem. It'll Shine Bright like Always Even If You Put It in Charcoal. You Just Need To Open Your Eyes & Heart to Find Them in Human....”
Muhammad Imran Hasan

 

Salah satu tantangan yang dihadapi wanita single berkarir sukses adalah menemukan pasangan yang juga berkarir dan berkeadaan finansial setara bahkan lebih baik dari dirinya.

Memang, seorang wanita single yang bijak harus bisa berpikir rasional dalam hal finansial untuk memilih pasangan hidupnya. Apalagi bila si wanita ini adalah wanita pekerja yang bisa menghidupi dirinya sendiri dengan baik. Janganlah mau menikah dengan pria hanya bermodal cinta. Kesejahteraan keuangan keluarga adalah hal penting untuk dipertimbangkan.

Namun terkadang fokus pada uang membuat seorang wanita menjadi salah dalam menilai dan membuat keputusan memilih pasangan hidup.

Seperti kisah yang pernah terjadi pada seorang wanita, sebut saja namanya Mawar. Mawar adalah wanita cantik berkarir baik dan sedang diperhadapkan pada pilihan antara dua pria yang sedang mendekatinya untuk menikah.

Pria A, adalah seorang karyawan biasa di suatu perusahaan dengan penghasilan stabil namun terbilang pas-pasan. A adalah pria yang cerdas dan punya semangat belajar yang tinggi, namun karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang baik, A harus membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Sehingga dia tidak kuliah. Walau pria A sudah bekerja dengan penuh tanggung jawab dan disiplin, namun pendapatan yang belum seberapa dan tanggungan yang banyak membuat A harus bergaya hidup hemat. 

Saat dia main ke rumah Mawar, paling banter dia hanya bisa membawakan oleh-oleh martabak atau mengajak Mawar makan di tempat makan di pinggir jalan yang harganya terjangkau. Walaupun pria ini adalah pria baik, pekerja keras dan memperlakukan Mawar dan keluarganya dengan hormat, namun kenyataan bahwa dia datang ke rumah Mawar dengan naik angkot membuat Mawar dan orangtuanya cenderung menyepelekannya.

Sementara itu Pria B adalah seorang pria berpenampilan rapi dengan pakaian-pakaian branded. Dia mengaku bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan BUMN. Sesuatu yang walau belum diketahui pasti oleh Mawar kebenarannya, tapi melihat dari penampilan nya, membuat Mawar langsung yakin. Apalagi Pria B selalu datang ke rumah Mawar mengendarai mobil yang bagus-bagus. Mobilnya sering gonta ganti.

Dia sering membelikan hadiah untuk Mawar dan setiap kali mengajak Mawar makan ke luar, pasti itu adalah restoran kelas atas yang harganya lumayan mahal.


Tak butuh waktu lama, hal-hal materi itu langsung membuat Mawar tergila-gila pada Pria B. Bukan hanya Mawar, orangtuanya juga langsung menjatuhkan restu pada Pria B. 

Orangtua Mawar juga membedakan sambutannya pada pria A dengan sambutannya pada pria B. Pada A mereka ngobrol seadanya aja, nggak merasa perlu untuk sekedar menawarkan minuman. Sementara saat pria B datang, mereka langsung sibuk menyediakan suguhan makanan dan minuman lalu mengajak ngobrol dengan ramah.

Oleh bayangan akan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan bergelimang harta dan oleh restu orangtua yang mutlak pada pria B, akhirnya Mawar memilih B dan mereka pun menikah. 

Namun setelah menikah, barulah Mawar mengetahui siapa pria B yang sebenarnya. Ternyata B tidak se kaya yang dikira. Dia ternyata hanya seorang supir di sebuah perusahaan penyewaan mobil. Terang aja mobilnya gonta-ganti. Ternyata itu bukan mobil sendiri. Dan demi mendukung gaya hidup mewahnya, ternyata dia punya banyak utang di sana sini. Seperti keburukan itu belum cukup, ternyata Pria B bukanlah pria jujur. Seringkali dia berselingkuh dengan wanita lain yang dengan mudah didekatinya dengan segala harta materi yang dia tunjukkan.

Tinggalah Mawar yang menyesali pilihannya. Demi pria B mawar sudah melepaskan A yang sebenarnya punya kualitas lebih berharga. Karakter yang lebih berharga dibanding uang.

Karena hanya fokus pada uang dan materi dia menjadi mudah dibutakan oleh penampilan luar yang tampak mentereng. Sampai-sampai dia gelap mata dan mengambil keputusan penting yang salah.

 

-to be continued...

 

Pelajaran untuk Tidak Mudah Menghakimi Orang Lain

(Sumber: Unsplash) Selama ini aku adalah penyuka acara Forum Group Discussion alias gibah. Walau aku bukan narasumber yang baik karena ...