Thursday, May 12, 2022

Point of No Return


"Jangan pergi kesana! Kalau kamu pergi, kamu sedang menghitung mundur hari kehancuranmu sendiri!"

Nasehat keras dari seorang sahabat saat aku curhat tentang kegalauanku. Singkat dan padat namun berhasil membuatku bergidik ketakutan membayangkan bagaimana dampak masa depan dari keputusan yang akan kubuat waktu itu.

Jadi begini ceritanya...

Dalam upayaku cari jodoh beberapa tahun yang lalu, aku sempat kenalan dengan seorang pria dari luar kota Jakarta. Kami kenalan di salah satu situs dating online khusus Kristen.

Dari awal kami chatting, aku merasa tertarik dengan pria ini. Aku menganggap pria ini dan segala yang ada padanya begitu keren. Tapi tampaknya dia tak punya rasa tertarik yang sama besarnya denganku. Terbukti dari dia tidak menanggapi dengan serius saat aku memintanya datang ke Jakarta untuk menemuiku. Alasannya sibuk dengan urusan kerjaan.

Aku yang waktu itu sangat tergila-gila pada pria ini berpikir bahwa itu alasan yang masuk akal. Bahwa aku harus memaklumi kesibukannya dan kalau bisa bahkan membuat urusannya lebih mudah dengan mendatanginya ke kota tempat tinggalnya.

Dengan pemikiran itu, hampir tiap hari aku mengecek tiket transportasi dari Jakarta ke kota si pria ini. Aku ingin menemuinya. Dan aku tak sabar untuk segera melakukannya.

Namun aku ditahan oleh banyak sekali kebimbangan dan kegalauan terkait niat itu.

Kegalauan mulai dari masalah dana. Waktu itu aku sedang kuliah lanjutan dan aku butuh banyak biaya. Untuk kuliah dan biaya hidup sehari-hari pun aku berjuang untuk pemenuhannya. Sementara harga tiket ke kota pria ini tak sedikit. Lumayan banget. Aku bisa aja sih cari pinjaman dari sana sini untuk itu. Tapi aku mikir-mikir lagi, apakah ini seberharga itu untuk diperjuangkan sampai harus minjam-minjam duit segala? Tar malah aku yang pusing sendiri bayarnya.

Kegalauan yang terbesar adalah, aku tak mungkin mengatakan alasanku pergi ke kota itu secara jujur pada mamak (aku tinggal bareng mamak waktu itu). Kalau aku jujur, pasti Mamak tak mengijinkannya. Orang tua mana yang akan setuju anak gadisnya pergi ke kota lain menemui pria asing yang hanya baru kenalan di online?

Aku mulai berpikir untuk bohong dan bilang ke mamak kalau aku mau jalan-jalan ke luar kota bareng teman-teman kantor. Aku beberapa kali jalan dengan teman-temanku dan mamak biasa aja kok. Tapi, aku tak sanggup berbohong pada mamak. Aku terlalu mengasihi dan menghormati beliau untuk sanggup berkata bohong padanya.

Terjadi pergolakan besar di dalam diriku. Antara logika dan perasaan. Logikaku bilang, ini pria gak segitunya kali untuk dikejar-kejar begitu. Dia juga tak menaruh rasa tertarik padaku. Seperti hubungan ini kurang sehat dan aku saja yang berkepentingan. Tapi perasaanku tak mau tau. Perasaanku benar-benar tergila-gila pada pria ini dan ingin segera menemuinya.

Pertentangan antara keinginan daging dan suara hati nuraniku. Apakah tindakan ini pantas? Apakah tindakan ini benar? Banyak banget pertimbangan di dalam pikiranku tapi aku tak bisa berpikir jernih.

Saking galaunya, aku yang biasanya jarang curhat ke orang lain, akhirnya merasa perlu untuk curhat juga. Aku curhat ke seorang sahabat yang kami biasa ke gereja bareng. Aku jelaskan padanya apa yang jadi kegalauanku. Saat aku minta saran, dia hanya berkata:

"Makasih ya udah percaya untuk sharing masalahmu padaku. Menurutku, kamu jangan pergi kesana. Kalau kamu pergi, kamu sedang menghitung mundur hari kehancuranmu sendiri!"

Udah gitu doang!

Tapi aku begitu takut dengan istilah 'menghitung mundur hari kehancuran' yang dia katakan. Aku bayangkan hidupku selanjutnya seperti bom waktu yang dihitung mundur 5…4….3…2…1….lalu BOOM!! Meledak!

Karena itu aku segera membuang pikiran untuk pergi menemui pria itu.

Dan untungnya (atau sayangnya?) waktu itu hapeku hilang. Aku kehilangan kontak dengan pria itu. Aku tak berusaha mencarinya dan dia juga tak berusaha mencariku. Dia memang tampaknya tak tertarik padaku. Aku aja yang terlalu ngebet.

Aku sangat berterima kasih untuk nasehat sahabat itu. Aku membayangkan apa yang kira-kira bisa terjadi seandainya aku nekat menemui pria itu. Dengan segala hawa nafsu yang memenuhiku waktu itu, kemungkinan besar kami bisa jatuh ke dalam dosa perjinahan. Terus mungkin aku bisa hamil di luar nikah.

Kalau pria itu mau bertanggung jawab, dia mungkin akan menikahiku dengan perasaan terpaksa. Dan karena dia tak mencintaiku, dia akan memperlakukanku semena-mena, bersikap semaunya dan tak memperdulikan perasaanku. Dan aku pun hidup mem’bucin’ sepanjang sisa hidupku.

Kalau ternyata pria ini tidak mau tanggung jawab, dia mungkin akan lari dan menghilang entah kemana. Aku yang baru kenalan beberapa bulan dan belum kenal cukup baik, pasti bingung, mau nyari kemana? Aku terpaksa menanggung sendiri akibat dari kesalahan itu. Menanggung beban malu dan tanggung jawab membesarkan anak tanpa suami. Mamakku dan keluarga besarku pasti sangat sedih dan kecewa dan malu.

Ah...seperti mimpi buruk!

Berada di titik tidak bisa kembali.

Aku tak bilang pergi ke kota lain untuk menemui pria adalah salah. Itu semua kembali kepada apa yang dinilai pantas oleh hati nurani kita. Bagaimana kita menilai sesuatu pantas atau tidak? Caranya dengan menjawab pertanyaan ini: Apakah aku akan malu bila orang lain mengetahui perbuatan ini? Kalau aku malu, berarti ini bukan hal yang pantas dilakukan.

Hal ini bukan saja tentang hubungan pria dan wanita. Juga terkait dengan pilihan dan keputusan-keputusan yang kita buat saat ini.

Mungkin saat ini kita diperhadapkan pada berbagai pilihan. Ada kesempatan untuk tidak jujur, ada kesempatan untuk berjinah, ada kesempatan untuk memuaskan keinginan-keinginan sendiri.

Tampaknya hanya hal kecil dan gak apalah dilakukan sekali kali, orang lain juga melakukannya dan gak kenapa-kenapa juga. Kita mulai kompromi, satu langkah keluar dari jalur, diikuti langkah lain dan langkah lain lagi sampai kita menyadari ternyata kita udah jauh banget melangkah dari jalur yang seharusnya kita berada. Dari jalur yang seharusnya membawa kita pada tujuan kita.

Dan akumulasi dari pilihan-pilihan yang salah itu bisa menjadi bencana bagi hidup kita pada akhirnya. Karena kita tak bisa kembali ke awal dan mengubah pilihan yang salah yang pernah kita buat. Atau mungkin kita sudah tak punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu. Jadi jangan sampai kita dipikat dan diseret oleh keinginan-keinginan daging yang menguasai kita saat ini. Kita harus punya pengendalian diri dan tetap menjaga integritas kita di dalam Tuhan. Dimana kita selalu berusaha untuk memilih melakukan hal yang benar.

 


No comments:

Post a Comment

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya

Suatu konflik dalam rumah tangga bisa berlangsung sementara atau mengakibatkan kerusakan permanen bila disikapi dengan cara yang salah. ...