Monday, April 17, 2023

Kenangan Memalukan di Restoran Restu Sibolga

 


Restoran Restu adalah salah satu restoran legend di Sibolga yang menyajikan makanan ala Chinese Food.

Tiap kali aku mudik ke Sibolga, makan di restoran ini pasti jadi salah satu agenda wajib. Menu yang aku biasa pesan adalah mie goreng.

Bukan saja karena rasanya yang enak dan harganya bersahabat, lebih dari itu aku punya kenangan khusus dengan mie goreng di restoran ini.

Begini ceritanya...

Pada jaman dahulu kala, sekitar 20 tahun yang lalu saat aku masih SMA, masih lugu dan naif, aku pernah diajak teman makan di sini.

Ketika itu aku gabung di salah satu organisasi remaja yang melayani sebagai putra putri altar gereja Katolik di Katedral Sibolga yang disebut Legio. 

Di Legio ini aku bertemu dengan remaja-remaja lain dari SMA yang berbeda denganku. Umumnya mereka beretnis Tionghoa dan bersekolah di salah satu SMU swasta yang lumayan mahal di kampung ku. Orang yang sekolah disitu biasanya dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Aku sendiri sekolah di SMK negeri yang mayoritas siswanya bersuku Batak dan berasal dari kalangan rakyat biasa.

Di Legio ini untuk pertama kalinya aku merasa punya akses untuk bergaul dengan orang-orang yang kelas ekonominya lebih tinggi dariku. Bahkan jauh lebih tinggi. 

Bagiku mereka tampak keren, cantik-cantik, ganteng-ganteng, kulitnya putih bersih, berpenampilan keren dan modis sesuai jaman itu. 

Dari cara berbicaranya, aku menilai mereka adalah remaja-remaja yang cerdas dan percaya diri. Mereka cukup akrab satu sama lain, mungkin karena sejak SD sampai SMA sudah bersekolah di sekolah yang di kelola yayasan yang sama.

Aku sering dengar mereka ngebahas tentang kegiatan di sekolah, tempat mereka biasa nongkrong, tempat-tempat keren dan mahal di Sibolga yang aku belum pernah datangi.

Mereka juga sudah menggunakan gadget termutakhir yang ketika itu masih jarang digunakan oleh rakyat biasa sepertiku.

Aku kagum dan ingin sekali bisa berteman akrab dengan mereka.

Tapi aku terkendala berbagai hal. Pertama aku orangnya tertutup, pendiam dan pemalu. Aku hanya bicara bila ada yang ngajak ngobrol. Aku juga minder banget karena keadaan ekonomi keluargaku yang sangat jauh dari mereka. Miskin saja tak cukup untuk mendefinisikannya. Mungkin lebih tepat disebut memprihatinkan. 

Jadi aku tak sanggup mengikuti gaya hidup mereka, gak bisa beli baju yang lagi ngetren seperti yang mereka kenakan, apalagi gadget terbaru, tak bisa juga ikut gaul di tempat mereka biasa nongkrong.

Satu-satunya hal yang mereka lakukan yang aku bisa aku ikuti adalah pertemuan mingguan Legio yang diadakan sehabis ibadah di pastoran. Soalnya nggak pake biaya. Selain itu ikut retreat dari gereja yang dananya disubsidi oleh gereja. Ini juga gratis. 

Walaupun sering bertemu dengan mereka, aku tetap merasa sulit untuk membaur secara alami. Mereka sebenarnya cukup ramah dan menyenangkan, tapi mungkin karena aku terlalu minder jadinya canggung.

Pada suatu hari seorang cewek anggota Legio itu berulang tahun. Di antara beberapa anggota lain, ada 3 orang cewek yang cukup akrab dengannya. Mereka mengajak si birthday girl ini untuk makan-makan. 

Mereka mengajakku juga katanya dalam rangka merayakan ulang tahun si cewek ini. Aku tentu saja senang diajakin. Merasa diterima dan dilibatkan. Apalagi ditraktir. Biasanya orang yang ulang tahun seperti berkewajiban untuk traktir teman-temannya. 

Kami menuju Restoran Restu yang tak begitu jauh dari gereja. Bagiku restoran ini tambak megah dan mewah. Aku belum pernah makan di tempat seperti ini sebelumnya. 

Keempat temanku termasuk si birthday girl tampak sudah biasa dengan restoran ini. Dengan santai mereka membuka buku menu dan memesan. Aku berusaha untuk tidak tampak terlalu udik dan bingung. Jadi aku ikutan pada pilihan menu yang mereka pesan. Mie goreng.

Saat pesanan datang, masing-masing sibuk menyantap mie goreng, yang begitu menggoda selera itu, menggunakan sumpit. Tak mau ketinggalan, aku pun berusaha bersikap seolah aku sudah biasa makan di restoran Chinese food. Dengan susah payah aku makan pake sumpit juga.

Di sela-sela makan, mereka juga ngobrol-ngobrol. Kadang aku tak nyambung dengan apa yang mereka bahas karena terkait kejadian di sekolahnya. Tapi demi dianggap asik, aku ikutan cengar cengir juga.

Terus pada saat selesai makan, aku lihat mereka merogoh dompet masing-masing untuk membayar. Aku langsung panik. Waduh! Bayar masing-masing? Gimana ceritanya ini? Ternyata kami tak ditraktir oleh si birthday girl? Perayaan ulang tahun macam apa ini?

Aku sangat panik. Aku bisa merasakan wajahku pucat pasi, keringat dingin tiba-tiba muncul di dahi. 

Duit di kantongku hanya cukup untuk ongkos pulang naik angkot. Seperti biasa aku hanya bawa uang untuk ongkos pulang pergi dan sedikit persembahan ke gereja. Tak ada alokasi dana untuk makan-makan dalam sistem pembukuanku.

Aku panik dan tak bisa berpikir. Rasanya malu banget bila harus mengakui bahwa aku tak punya duit di depan teman-teman baruku yang ingin kukesankan ini.

Ya Tuhan...apa yang harus kulakukan? Ingin sekali rasanya aku punya ilmu menghilangkan diri dan menghilang tiba-tiba biar terlepas dari moment memalukan pada waktu yang begitu mendesak itu.

Aku melihat mereka ngumpulin duitnya ke satu orang untuk dibayarkan sekaligus. Situasinya semakin menegangkan bagiku.

Akhirnya demi menyelamatkan muka dari rasa malu, aku pun menggunakan cara paling cerdas yang bisa aku pikirkan saat itu.  

Aku pura-pura merogoh-rogoh kantong dan pura-pura kaget, dan berkata, 

"Wah, duit aku ketinggalan!" 

Dengan wajah yang disetting pura-pura bingung, aku berkata pada seorang teman yang duduk di sebelahku, 

"Tolong bayarin dulu ya, ntar aku ganti.." 

Dengan santai teman di sebelahku itu membayar juga seharga pesananku. Kalau nggak salah harganya 12.000. Pada masa itu harga segitu sudah cukup mahal bagiku.

Aku heran dengan reaksi mereka yang biasa saja.  Tampaknya mereka tak kaget mendengar alasanku ketinggalan duit. Mungkin sebenarnya mereka sudah tau kali ya  kalau aku nggak punya duit. Hehe

Setelah selesai makan kami kembali ke gereja untuk pertemuan mingguan Legio. Tapi aku sudah tak bisa fokus lagi ke pertemuan itu. Aku masih shock. 

Beberapa Minggu kemudian dengan bersusah payah mengumpulkan uang jajan sehari-hari, akhirnya aku berhasil mengganti uang temanku yang nalangin tadi.

Moral of the story...pertama, kalau lo miskin gak usah sok-sokan ikut gaya hidup orang kaya. Kedua, jangan suka berasumsi. Bila tak yakin bertanyalah. Biar nggak panik. Hehe

Kejadian itu sangat membekas di hatiku. Sampai-sampai restoran Restu juga menjadi suatu bagian bersejarah bagiku. 

Semoga restoran ini tetap jaya biar tiap aku mudik ke Sibolga bisa ke sini lagi. Bernostalgia. Hehe.

No comments:

Post a Comment

Bagaimana Menyikapi Perkataan Orang yang Bikin Sakit Hati Saat Moment Silaturahmi

Menjelang hari raya, aku mendapati di media sosial beberapa nasehat untuk menjaga perkataan saat bertemu kerabat saat moment silaturahmi.  U...