Kasih atau Keset? Pentingnya Membangun Batasan yang Sehat dalam Hubungan

 


“Ai biang do attong omak ni on!” (Mama mu itu emang anjing!)

Wanita paruh baya itu menunjuk wajahku sambil melontarkan makian tersebut dengan raut bengis, di depan para kerabat yang sedang berkumpul saat perayaan Tahun Baru di rumahnya. Wanita itu adalah istri dari kakak laki-laki mamaku, yang dalam adat dianggap punya peranan cukup penting. 

Para kerabat lain, termasuk suami dan anak-anaknya, hanya diam sambil mengangguk-angguk. Mungkin mereka juga setuju. 

Aku hanya bisa diam mendengar rentetan makian itu sambil sesekali cengar-cengir kebingungan. Dalam hati, tentu saja aku tidak terima ibuku dikatain begitu. Tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menyikapinya.

Saat itu aku datang sendirian ke rumah kerabat itu karena diminta oleh mamaku. Seperti biasa, beliau sering meminta anak-anaknya untuk datang ke sana sebagai bentuk pengabdian. Mungkin saja moment tahun baru ini akan ada banyak tamu, banyak cucian piring, banyak cucian baju dan banyak kerjaan rumah lain yang bisa aku lakukan di sana. 

Mamaku selalu mengajari kami untuk memperlakukan keluarga kerabatnya itu dengan takzim dan hormat.

Aku tidak pernah menceritakan kejadian itu kepada Mamaku. Mungkin itu hanya akan menambah sakit hatinya. Lagian, aku tau, seburuk apa pun perlakuan mereka, mamaku akan tetap datang lagi dan lagi. Datang untuk melayani. Selalu diinjak-injak, tapi selalu datang lagi. Seolah-olah emang senang dizolimi dan minta diinjak.

Pernah suatu ketika, kakakku mengkonfrontasi sikap seorang anak dari kerabat tersebut. Anak remaja itu datang dengan pongah ke rumah dan berkata:

"Oh ternyata di rumah ini ada banyak tenaga kerja!"

Dengan marah, dia menegur kami yang menurutnya santai di rumah, sementara di rumahnya sedang sibuk mempersiapkan pernikahan abangnya. Padahal kami tidak pernah diinformasikan sebelumnya.

Kakakku marah diperlakukan demikian dan menolak datang untuk bantu-bantu kegiatan itu. Ia tidak mau dianggap budak yang hanya dipanggil saat ada keperluan, apalagi dengan cara yang kasar.

Saat Mamaku tau tentang hal itu, beliau justru marah pada kakakku.

Kakakku tak sudi datang lagi ke sana, tapi Mamaku tetap datang, dan bahkan mendesak anak-anaknya yang lain, yang lebih penurut, untuk pergi ke sana setiap kali mereka butuh "tenaga kerja". 

Untuk kepatuhan itu kami dianugerahi gelar sebagai anak baik sementara kakakku dianggap kurang baik dan sering dijelek-jelekkan.

Saat itu aku menganggap kakakku terlalu ekstrem. Aku tidak mengerti kenapa ia menolak membantu kerabat. Bukankah tindakan kami itu tindakan kasih? Membantu orang yang membutuhkan?

Dulu aku berpikir bahwa apa yang dilakukan Mamaku adalah tindakan kasih. 

Walaupun di belakang dia sering mengeluh sedih tapi dia selalu datang lagi. Bukankah itu adalah praktik "ampunilah orang yang bersalah kepadamu" yang diajarkan dalam agama? 

Tapi sekarang, aku sadar, itu adalah tindakan keset. Itu bukan kasih.

Kasih kepada sesama itu baik, dan memang diperintahkan untuk umat manusia.

Namun, perintahnya lengkapnya adalah:

"Kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri."

Kasih kepada dirimu sendiri adalah prioritas pertama sebelum mengasihi orang lain.

Membangun batasan yang sehat dalam hubungan adalah bentuk kasih pada dirimu sendiri dan kepada orang lain.

Orang yang tadinya bisa saja culas, jahat, dan semena-mena padamu, akhirnya mulai berpikir ulang tentang tindakannya, dan belajar bagaimana berperilaku dengan lebih baik.

Melihat ke belakang, bagaimana keluarga itu terus memperlakukan keluarga kami dengan buruk hingga hari ini, aku akhirnya menyadari. Dari awal, sikap kakakku yang berani menolak perlakuan buruk itu, sudah paling benar.

Kenapa kita membiarkan diri diperlakukan seperti taik?

Diam saja saat dikatain anjing?

Menurut saja saat diminta jadi babu?

Itu bukan hubungan keluarga yang sehat. Mereka bahkan tidak menganggap kami keluarga saat momen bahagia. Tapi giliran butuh pembantu, kami tiba-tiba dipanggil.

Seolah mereka punya hak penuh atas diri kami. 

Padahal kami berjuang sendiri kok untuk nyari nafkah. Bukan menggantungkan hidup pada mereka.

Namun keadaan itu tidak semata kesalahan mereka. Itu juga salah kami. Kenapa kami membiarkan diri diperlakukan seperti itu? 

Kita sebenarnya mengajari orang lain cara memperlakukan kita dengan apa yang kita biarkan tetap mereka lakukan.

Kalau saat pertama kali dimaki kita hanya diam, cengar-cengir, maka besar kemungkinan besok dia akan memaki lagi.

Tapi jika kita menunjukkan bahwa kita keberatan, mungkin lain kali ia akan berpikir dua kali. 

Menyadari bahwa seseorang tak suka diperlakukan begitu, dan bahwa dia perlu memperbaiki cara bicaranya.

Memang belum tentu juga sikap keberatan kita bisa mengubah tabiat buruk orang lain yang mungkin sudah mendarah daging di tubuhnya. 

Bisa jadi ia tetap tidak peduli dan merasa tak perlu berubah. Bagaimana pun juga kita tidak bisa mengendalikan mulut orang lain. Tapi kita bisa mengendalikan apakah kita mau terus datang dan bertemu dengannya, atau tidak.

Kita bisa memilih untuk mengurangi paparan energi beracun yang ia sebarkan. Salah satu caranya adalah dengan tidak bersedia lagi hadir atau berinteraksi dengan orang semacam itu.

Apakah itu Kasih Bila Tindakan Kita Membiarkan Orang Lain Kena Azab?

Di banyak sinetron Ku Menangis di Indosiar, orang jahat digambarkan sangat jahat, sementara orang baik cenderung terlalu baik.

Sering kali, karakter yang menjadi korban dalam cerita-cerita itu hanya diam, tak melawan, saat diperlakukan seperti keset. Baik itu istri yang diselingkuhi atau di KDRT suami, orang tua yang didurhakai anak atau menantu yang dizolimi mertua.

Kadang, sikap “baik” mereka yang pasif justru tampak seperti kebodohan. Dan aku sering gregetan melihatnya.

Biasanya, pada akhir cerita, orang jahat akan mendapat hukuman atau azab, misalnya bangkrut, jatuh miskin, sakit keras, dan semacamnya.

Apabila seseorang berbuat “baik” dengan maksud mengasihi, apakah membiarkan orang lain tetap berlaku jahat agar nanti dapat azab adalah suatu tindakan kasih?

Bukankah itu seperti memberi seseorang pintu untuk dihukum? 

Kalau dari awal tindakan buruk itu tidak dibiarkan terjadi, bukankah orang itu juga mungkin tidak perlu menerima hukuman?

Bukankah membiarkan seseorang terus berbuat jahat adalah bentuk lain dari membiarkan mereka menghancurkan diri sendiri?

Pada akhirnya, kita tidak bisa mengendalikan pilihan dan perilaku orang lain. Yang bisa kita kendalikan adalah tindakan dan sikap kita terhadap perlakuan itu.

Apabila kita menolak untuk diperlakukan seperti keset, mungkin orang itu tak akan memperkeset kita. 

Kita menuai apa yang kita tabur. Dengan tidak memberi ruang dia menabur kejahatan, mungkin dia bisa terhindar dari hukuman atas kejahatan itu.

Kenapa Sulit Membangun Batasan?

Rasa takut dan rasa bersalah seringkali menghalangi seseorang untuk menetapkan batasan terhadap hal-hal yang tidak ia sukai. 

Seringkali kita menyalahartikan kasih dengan bertindak dan bersedia diperlakukan seperti keset. 

Kita berkata bahwa itu adalah kasih, padahal sebenarnya itu adalah rasa takut, rasa malu, atau rasa bersalah yang tidak tepat.

Hal ini tentu terbangun dari keyakinan yang kita peroleh dari berbagai sumber. Bisa dari pola asuh yang membuat seorang anak takut berkata tidak dan dipaksa selalu nurut atau dari pemahaman yang kurang lengkap tentang kasih.

Orang yang punya harga diri yang rendah yang  cenderung menjadi people pleaser dan melakukan apa saja untuk mendapat validasi dari luar, yang takut dihukum oleh kemarahan atau kata-kata mengejek di belakang, haus akan penerimaan biasanya akan rentan pada hal ini

Orang tersebut akan segera melompat melakukan apapun yang diharapkan orang lain dari dirinya meskipun hal itu mungkin bertentangan dengan logika dan suara hatinya.

Maka, seberapa besar kadar cinta dan penghargaan seseorang pada dirinya sendiri akan menentukan seberapa besar dia mampu membangun batasan yang sehat dengan orang lain, dengan perlakuan mereka tolerir.

Pengalaman Membangun Batasan Sehat

Bagaimana rasanya saat aku pertama kali berusaha membangun batasan sehat dalam hubungan?

Rasanya sangat menakutkan!

Saat itu aku merasa sakit hati pada seseorang yang dalam keluarga termasuk dituakan. Merasa tidak diperlakukan dengan respect olehnya sehingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak bertemu dan bicara dengannya selama beberapa bulan.

Selama itu pula segala bentuk rasa takut dan rasa bersalah menyerangku. Terjadi perang batin antara bagian logis dan bagian rasa  takut dan rasa bersalahku.

Bagian logis dalam diriku berteriak protes berkata, "Tidak, ini tidak benar!", berusaha menahan dengan penjelasan bahwa tindakan itu hanya membuatku dianggap seperti keset, bukan pahlawan. Namun rasa takut ku memaksa ingin segera melompat melakukan apapun yang kupikir diharapkan orang lain dariku. Berusaha menghindari konflik agar diterima dan dianggap baik.

Bagian rasa takut dan rasa bersalah berkata bahwa tindakan seperti itu tidak menunjukkan kasih. Bahwa aku tak boleh durhaka pada orang tua. Apa kata orang nanti kalau tau aku bersikap begini? Orang akan menilai ku buruk, tidak rohani, percuma rajin ke gereja. Dan banyak ketakutan lain yang seolah memintaku untuk segera menemui orang itu dan bersikap bahwa it's ok kalau dia ingin berlaku sesukanya padaku.

Walau perang batin menderaku, aku tetap bertahan menjaga jarak dengan tidak menemui orang tersebut. Aku merasa bahwa kebutuhan ku untuk memulihkan hatiku lebih penting dari kebutuhan akan validasi orang lain. 

Aku bahkan tidak bicara kepada pembimbing rohaniku tentang hal itu karena aku yakin dia pasti akan menasihatiku dengan, "Ya sudah lah, ampinilah, blablabla." Seperti layaknya orang religius pada umumnya. 

Aku tak ingin mendengar hal itu. Tau apa mereka tentang betapa terlukanya hatiku? 

Dan akhirnya apa yang terjadi kemudian, membuatku sadar bahwa it works. Membangun batasan sehat itu awalnya memang menakutkan, tapi kalau kita konsisten, maka itu akan sangat menyehatkan jiwa dan hubungan kita. 

Kadang orang yang terbiasa melihat kita selalu nurut-nurut, sekalinya ditolak kemungkinan besar akan marah. Bahkan mungkin tak mau lagi bicara dengan kita. 

Namun bila hubungan itu ternyata tak berfaedah untuk kebaikan kita, emang kenapa kalau nggak berurusan lagi dengan orang itu? Apa ruginya?


“Never make excuses for someone who disrespects you, who they are isn’t a pass to treat you like trash.” -Trent Shelton

If you allow people to disrespect you, you are teaching them it’s okay.” -Unknown

“You can’t force someone to respect you, but you can refuse to be disrespected.”  -Unknown

Popular posts from this blog

Bersinarlah dengan Cahayamu Sendiri

Menjadi Sahabat bagi Diri Sendiri dengan Perkataan Baik

Bertahan Hidup dan Tetap Waras adalah Suatu Pencapaian