Berbeda untuk Saling Melengkapi


Satu perbedaan yang signifikan di antara aku dan suami adalah pada tingkat ambisi. Aku termasuk orang yang punya tingkat ambisi tinggi untuk mencapai sesuatu sementara suami cenderung lebih santai dan cepat puas dengan apa yang ada.

Pada awal pacaran dia pernah bilang bahwa aku terlalu sibuk karena saat itu aku, seperti gasing, berputar dari satu kegiatan ke kegiatan lain hingga jarang sekali punya waktu untuk bersantai. Aku akui, aku memang sibuk dan lelah. Hampir tak ada waktu untuk santai. Tepatnya, aku tak membiarkan diriku santai.

Dalam pikiranku, bagaimana mungkin aku santai? Orang miskin kok santai. Rasanya santai seperti tidak bertanggung jawab. Melihat semua beban keluarga dan penderitaan manusia di bumi yang perlu dibantu, bagaimana aku bisa santai? Bagiku pendapat itu tak masuk akal. Terlalu sibuk apa? Menurutku dialah yang terlalu santai.

Hingga setelah kami menikah, perbedaan ini sering jadi masalah. Untuk beberapa waktu aku berusaha mengubah suami menjadi seperti yang aku anggap ideal, melakukan tepat seperti caraku dan menilai sesuatu seperti aku menilai. Namun ternyata tidak berhasil. Dia tak banyak berubah.

Lalu di tengah rasa frustasi, aku merenungkan bahwa kehidupanku sebenarnya menjadi jauh lebih baik sejak aku bersama dengan pria ini. Dengan segala perbedaan yang ada di antara kami.  

Kehadiran pasangan yang tepat bukan berarti pasangan itu udah se perfect mungkin dari segala aspek. Bisa jadi apa yang kita lihat sebagai suatu ketidaksempurnaan pada diri pasangan ternyata justru baik untuk pemulihan jiwa dan penyempurnaan karakter kita.

Aku yang selama ini cenderung impulsive dan bertindak terlalu cepat mulai belajar untuk mengendalikan diri dan berpikir jernih sebelum bertindak. Seperti suami yang biasa mempertimbangkan masak-masak segala sesuatu sebelum mengambil tindakan.

Jadi bila aku berprinsip, maju dulu aja, ntar baru dipikirin caranya, suami biasanya dipikirin dulu, kalau memungkinkan baru maju, kalau nggak ya nggak usah. Ngapain buang-buang waktu dan energi?

Aku sebenarnya sering gregetan dengan sikap itu karena aku pikir, gimana kita tau kalau belum dicoba? Kan bisa aja berhasil. Aku menilai suami terlalu lambat dalam bertindak. Saat aku punya ide untuk melakukan sesuatu, aku akan segera melompat ke lapangan tanpa terlalu banyak pertimbangan. Karena aku cukup gigih, biasanya aku akhirnya mencapai tujuanku, tapi yah gitu, dengan berdarah-darah.

Satu contoh kecil adalah saat melakukan perjalanan ke suatu tempat.

Dulu ketika masih single, aku sering nyasar. Kalau mau bepergian aku jarang ngecek rute perjalanan. Misalnya bepergian naik bus Transjakarta. Aku biasanya langsung aja ke halte, setibanya di halte aku baru mikir, mau nanya siapa ya? Akibatnya aku sering nyasar, ketinggalan bus dan segala keribetan lain yang nggak perlu. Memang sih, pada akhirnya aku nyampe di tempat tujuan, tapi prosesnya begitu melelahkan karena harus muter-muter dulu akibat nyasar.

Sementara suami, jauh-jauh hari dia sudah akan ngecek rute dan jadwal bus yang bisa kami naiki untuk tiba di suatu tujuan. Dia akan mempertimbangkan berbagai alternatif rute dari jarak, waktu dan kemudahan mencapainya.

Setelah menikah dan sering bepergian bersama suami, perjalanan kami biasanya menjadi lebih lancar. Kami bisa tiba di tempat tujuan tanpa grasa grusu dan tanpa nyasar-nyasar. Menghemat banyak waktu, energi dan biaya.

Aku melihat bahwa sikap berhati-hati yang dimiliki suami sebenarnya menghindarkan kami dari banyak konsekuensi buruk yang mungkin terjadi bila semua rencanaku yang cenderung impulsive itu dilaksanakan.

Aku juga belajar untuk lebih memahami motivasi ku dalam berkejar-kejaran dari satu tujuan ke tujuan lain. Ternyata seringkali hal itu hanya upaya untuk membuktikan diri, untuk mencari pengakuan. Hal-hal yang kadang seperti dibungkus oleh niat baik untuk melayani sesama.

Selama ini aku cenderung menilai bahwa keberhargaanku ditentukan oleh pencapaian-pencapaian yang aku dapatkan. Aku mulai belajar bahwa nilai diri dan keberhargaanku ditentukan oleh siapa diriku dan bagaimana karakterku, bukan pada prestasi luar.

Aku juga mulai belajar untuk lebih balance dalam bekerja dan bersantai. Untuk mencintai diriku dan melakukan satu hal dalam satu waktu. Nggak segala hal diborong sekaligus. Belajar untuk fokus pada apa yang benar-benar penting.

Pernikahan adalah sebuah kolaborasi yang seharusnya focus pada bagaimana suami dan istri menggunakan kekuatan masing-masing untuk saling menopang kelemahan satu sama lain.

Ibarat pasangan si lumpuh dan si buta. Mereka masing-masing punya kekurangan tapi masing-masing juga punya kekuatan yang bila disatukan akan membuat mereka bisa berjalan dan mencapai tujuannya. Bagaimana bila mereka menghabiskan sepanjang waktu hanya untuk menuntut pasangannya untuk sempurna sesuai versinya sendiri? Agar bisa menanggung semua kebutuhannya? Yang ada mereka nggak akan kemana-mana.

Jadi daripada sibuk ribut mencari-cari kesalahan dan kekurangan pasangan, sebaiknya focus melihat kekuatan apa yang ada pada diri kita dan pada pasangan kita dan bagaimana kitab isa menyatukan kekuatan itu untuk mencapai tujuan bersama.

Popular posts from this blog

Bertahan Hidup dan Tetap Waras adalah Suatu Pencapaian

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya

Menjadi Sahabat bagi Diri Sendiri dengan Perkataan Baik