Jangan banyak mulut (sumber gambar: kristina-flour-unsplash) |
Selama ini aku pikir aku adalah wanita kalem, pendiam dan tidak pintar ngomong. Setelah menikah, baru kusadari ternyata aku punya bakat terpendam. Aku berbakat memberi ceramah dan berdebat dengan suami.
Setiap kali suami melakukan sesuatu yang aku tidak setuju, aku bisa dengan cepat menceramahinya panjang lebar tanpa melihat sikon. Berusaha mengarahkannya ke jalan yang benar. Isi ceramahku pun udah kayak orang paling bener, kadang ditambahi dengan ayat pendukung dari Alkitab, quote dari tokoh-tokoh terkenal dunia atau pesan dari buku-buku yang aku pernah baca.
Setiap jawaban dan pembelaan diri suami selalu berhasil aku patahkan dengan pilihan kata yang tepat, lugas dan tajam. Sesi adu argument biasanya aku menangkan dengan telak dan suami hanya bisa diam tak sanggup berkata-kata lagi untuk menyanggah.
Kadang setelah mengucapkan satu kalimat yang menurutku keren, dalam hati berguman, “Wah, keren banget tadi kata-kata ku itu. Kok bisa ya aku bicara sebijaksana itu. Mungkin sebenarnya aku berbakat jadi pengacara”.
Akan tetapi, setiap kali aku selesai ‘mengkotbahi’ suami atau memenangkan sesi debat ternyata hal itu tak bikin aku bahagia dan damai sejahtera. Apalagi kalau aku lihat suami jadi diam dan bukannya menjadi koperatif tapi malah bersikap makin ngeselin.
Aku harus bagaimana sih sebenarnya? Masa aku diam saja saat aku melihat sesuatu tak berjalan dengan semestinya?
Lalu aku dapat suatu pencerahan dari sebuah program bernama Anda Bertanya Alkitab Menjawab (ABAM) di youtube channel Truth.id. Ini adalah acara tanya jawab seputar masalah-masalah jemaat yang dijawab oleh Pendeta Erastus Sabdono.
“Kamu jangan banyak mulut. Kamu nasehati suamimu sekali dua kali, setelah itu diam aja. Fokuslah untuk hidup benar. Fokus mencari kehendak Tuhan untuk menemukan arahan harus berbuat apa” kira-kira begitu biasanya beliau memberikan nasehat saat ada istri-istri yang curhat dan minta solusi terkait konflik keluarganya.
Dan aku mulai berpikir, sepertinya banyak mulut memang bukanlah solusi, malah bisa memperkeruh suasana. Padahal tujuan istri-istri ceramah alias mengomel biasanya adalah untuk memperbaiki perilaku. Tapi nyatanya perilaku suami nggak berubah juga walau istri udah ngomel sampai berbusa.
Jadi aku mulai mempraktekkan nasehat untuk jangan banyak mulut itu. Setiap kali hasrat ingin ngomel berkobar di dada, aku tahan. Mengingatkan dalam hati, “Jangan banyak mulut!”
Lihat barang tidak dikembalikan pada tempatnya, ingin rasanya langsung mengingatkan, tapi ada suara, “Jangan banyak mulut” lalu dengan diam aku kembalikan barang itu pada tempatnya.
Lihat suami lagi males-malesan, padahal ada kerjaan yang harus dilakukan, setelah mengingatkan akan pekerjaan itu, kadang terbersit ide untuk ceramah panjang lebar, tapi lagi-lagi suara di dalam batinku berkata “Cukup! Jangan banyak mulut”
Saat suami cerita tentang satu hal yang bukan ranahku untuk ikut campur tapi jiwa sok tau ku ingin sekali ngasih nasehat, suatu suara mengingatkanku lagi “Udah dengerin aja. Jangan banyak mulut”
Banyak kejadian sehari-hari bersama suami dimana suara batinku mengingatkanku untuk “Jangan banyak mulut”. Kadang aku berhasil, kadang kelepasan ngomel juga. Kalau udah gitu biasanya aku menyesal dan merasa bersalah.
Bukan hal yang mudah ternyata untuk menahan hawa nafsu untuk ngomel. Mungkin karena naluri istri yang ingin mengendalikan segala sesuatu di dalam rumah tangga. Niatnya biar semuanya berjalan dengan baik alias wanti-wanti. Seperti ada pemikiran, “Kalau bukan aku yang komentar, kalau bukan aku yang mengingatkan, kalau bukan aku yang menasehati, kalau bukan aku yang meluruskan, siapa lagi?”
Tapi sesuai pengalamanku, tidak ngomel dan tidak banyak mulut tenyata membawa banyak dampak positif bagi hubunganku dengan suami. Kata-kataku walau sedikit ternyata lebih efektif untuk bikin suami menjadi lebih mudah diajak kerja sama. Komunikasi yang terjalin di antara kami juga menjadi lebih baik.
Dengan tidak banyak mulut, aku juga mulai belajar untuk mendengar alasan suami berbuat sesuatu, melihat suatu masalah dari sudut pandangnya, berusaha memahami situasinya dan menjadi mengerti mengapa dia berperilaku tertentu.
Setiap kali aku ingin memberi masukan atau nasihat, aku juga berusaha untuk melihat sikon dan menunggu waktu yang tepat dimana suami sedang dalam suasana hati yang baik sehingga lebih siap untuk menerima nasehat itu.
Dalam sebuah buku parenting berjudul No Drama Discipline, dikatakan, ada saat dimana seseorang dalam keadaan optimal untuk diberi nasehat dan ada saat dimana nasehat itu tidak mempan. Tidak peduli seberapa benar nasehat yang disampaikan itu.
Jadi biar kita nggak hanya ngomel sia-sia, buang waktu dan energi percuma dan nasehat yang disampaikan bisa diterima dengan efektif, maka perlu memastikan pendengarnya dalam kondisi yang siap untuk menerimanya. Saat orang itu merasa aman, nyaman, merasa diterima dan dimengerti dan hubugan sudah terjalin baik.
No comments:
Post a Comment