Perintah untuk suami istri (sumber gambar: Caroline-veronez-unsplash) |
Bagi pasangan suami istri Kristen, tentu tak asing dengan ayat Alkitab Efesus 5:22, yang berisi perintah untuk suami istri:
“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu..dst” dan
“Hai suami, kasihilah isterimu..dst”
Topik ini juga menjadi salah satu materi ketika aku dan Bang Guntur mengikuti bimbingan pranikah.
Saat itu pembimbing nya adalah salah satu pasangan suami istri penatua di gereja tempat kami berjemaat lokal.
Pembimbing meminta aku membacakan ayat perintah untuk istri. Setelah itu Bang Guntur juga diminta untuk membaca apa yang jadi perintah untuk suami.
Setelah aku selesai baca ayat bagianku, pembimbing bertanya,
"Perintah yang untuk istri yang mana?"
Segera aku jawab, yang ayat "Hai istri".
Pembimbing lanjut bertanya pada Bang Guntur,
"Perintah untuk suami yang mana?"
Bang Guntur juga dengan cepat segera menjawab yang ayat "Hai suami ".
Terus pembimbing nanya lagi, “Apakah istri berhak menuntut suami melakukan perintah yang jadi bagian suami atau apakah suami berhak menuntut istri melakukan perintah yang jadi bagian istri?”
Aku dan Bang Guntur dengan yakin menjawab “Iya! Tentu saja berhak.”
Pembimbing tampaknya belum puas dengan pemahaman kami. Sekali lagi kami diminta untuk membaca bagian ayat masing-masing. Lalu dia menanyakan lagi pertanyaan yang sama,
“Apakah istri berhak menuntut suami melakukan perintah yang jadi bagiannya? Apakah suami berhak menuntut istri melakukan perintah yang jadi bagiannya?”
Aku dan Bang Guntur jadi bingung. Berhak nggak ya? Lalu pembimbing mencoba membuka pengertian kami dengan menjelaskan lebih lanjut.
“Dalam ayat tersebut sudah jelas disebutkan perintah untuk istri di bagian, Hai Istri. Sementara perintah untuk suami pada bagian, Hai suami. Jadi masing-masing punya bagian tersendiri untuk dipatuhi. Masing-masing punya tanggung jawab yang harus dilakukan. Apakah istri berhak untuk menuntut suaminya melakukan tugasnya sehubungan dengan ayat perintah tersebut atau sebaliknya?”
Aku jadi mikir lagi. Hm..iya juga. Harusnya aku nggak berhak. Akhirnya aku dan Bang Guntur menjawab,
“Nggak berhak.”
Sesi bimbingan pranikah itu cukup mengubahkan mindsetku karena selama ini aku sudah salah memahami perintah itu. Mungkin karena sering melihat contoh keluarga di sekitarku dimana istri-istri sering mengeluh akan kelakuan suaminya.
Istri-istri itu menjelek-jelekkan dan memperlakukan suaminya dengan buruk seolah itu hal yang benar dengan alasan, kalau suaminya nggak mengasihinya, bagaimana dia mau tunduk? Kalau suaminya tidak bersikap baik, bagaimana dia mau bersikap baik dan hormat? Jadi selama ini aku berpikir, memang sewajarnya istri punya hak untuk menuntut suami melakuan seperti perintah di ayat itu sebelum dia merasa perlu untuk tunduk pada suami nya.
Dari bimbingan pranikah ini aku jadi mengerti bahwa istri harusnya hanya fokus pada apakah dia sudah melakukan tugasnya sebagai istri dengan baik atau belum. Istri bertanggung jawab untuk menuntut dirinya melakukan apa yang jadi perintah Tuhan untuk dirinya sebagai istri.
Setelah acara bimbingan itu aku ngobrol dengan Bang Guntur. Aku berkata bahwa perintah untuk tunduk pada suami sepertinya bukan hal yang mudah bagiku.
Aku dan Bang Guntur bertemu saat aku sudah berusia 35 tahun dimana aku sudah terbiasa hidup mandiri, bikin berbagai keputusan dan mengatur hidup sendiri. Tidak akan mudah bagiku untuk menerima arahan dari orang lain apalagi bila menurutku orang itu tidak berkompeten untuk memimpin.
Untuk aku bisa tunduk dan mau dipimpin, aku harus punya rasa respect pada orang tersebut. Bagaimana aku bisa punya rasa respect? Yaitu kalau orang tersebut emang pantas untuk dihormati dengan segala karakter tak bercela nya.
Dengan berkata begitu aku mau menekankan pada Bang Guntur bahwa dia harus berusaha menjadi pria yang hebat bila ingin mendapatkan rasa respect yang membuatku merasa perlu untuk tunduk padanya setelah dia jadi suamiku nanti.
Saat itu Bang Guntur hanya dengerin sambil manggut-manggut. Mungkin lagi mikir, jadi diajak nikah nggak ya nih cewek? Hehe
(sumber: sandy-millar-unsplash) |
Setelah kami menikah, semua hal terkait perilaku pasangan menjadi terbuka lebih jelas. Yang tadinya nggak tau kalau dia punya keburukan tertentu jadi tau. Yang tadinya hal dalam diri pasangan yang dianggap kelebihan, ternyata setelah menikah bisa jadi dirasa seperti suatu kekurangan.
Banyak
hal yang terjadi yang membuat pasangan malah makin terlihat kelemahannya. Aku bisa
melihat dengan jelas suamiku dengan segala kesalahan dan kegagalan yang dia
lakukan.
Berbagai upaya aku lakukan mencoba 'memperbaiki' dan mengubah suamiku seperti yang aku pandang ideal. Mulai dari memberi saran, nasehat, mengomel, silent treatment, menyindir secara halus sampai secara kasar, tapi tak menghasilkan perubahan seperti yang aku harapkan. Ternyata dia bukan pria yang selalu hebat tak bercela. Bagaimana aku harus tunduk pada suami seperti itu?
Lalu aku teringat, sesi bimbingan pranikah tentang perintah "Hai istri tunduklah pada suami..". Aku mendapatkan pengertian bahwa aku tidak sedang tunduk pada suami yang punya kekurangan di sana sini. Aku sedang tunduk pada Tuhan yang memberiku perintah untuk melakukannya. Aku tunduk pada suami sebagai ketaatan pada perintah Tuhan. Ini bukan urusanku dengan suamiku. Ini urusanku dengan Tuhan.
Pria ini memang tidak sempurna. Dia punya kekurangan dan kelemahan. Tapi tidak berarti aku berhak untuk berbicara dan memperlakukannya dengan buruk. Aku harus tetap menghormati suami ku, bahkan aku harus men support dan menjadi penolong baginya untuk menjadi versi yang lebih baik dari dirinya. Aku tau Tuhan suka aku melakukannya. Bukankah memang untuk itu Tuhan memberikanku peran sebagai istri dari pria ini?
Lalu aku memutuskan untuk fokus memperbaiki diri sendiri daripada berusaha memperbaiki orang lain. Aku tidak lagi sibuk menuntut suami harus begini begitu. Aku menyadari, apa yang aku anggap benar juga belum tentu mutlak benar.
Dalam upayaku menjadi versi yang lebih baik dari diriku, aku sadari, ternyata nggak mudah juga loh. Banyak kegagalan dan kesalahan bodoh di sepanjang jalan yang masih terjadi. Bila aku yang sungguh-sungguh mau berubah aja sulitnya begitu, mengapa aku berpikir adalah mudah untuk mengubah orang lain?
Pada akhirnya setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pengadilan Allah. Apakah aku sudah melakukan peranku dengan benar? Kenapa aku harus terbebani dan terkendala melakukan apa yang jadi tugasku hanya karena orang lain tidak melakukan tugasnya dengan baik?
Efesus 5:22-33 TB
Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.
Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.
Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.
Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya.
Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.
Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.
No comments:
Post a Comment