Monday, February 13, 2023

Apa Nanti Kata Orang?

 

Photo by Ussama Azam on Unsplash

 

Saat itu usiaku 32 tahun dan belum juga punya pasangan. Upaya pencarian jodoh baik secara online maupun offline tak membuahkan hasil. Keluarga besarku makin gencar mendesakku untuk segera menikah. Aku panik campur frustasi. Apa yang harus kulakukan lagi?

Ketika seorang teman mengenalkanku pada seorang pria lajang berumur 35 tahun yang serius mencari calon istri, aku pun segera menanggapi. Menurutku pria ini orangnya baik dan sopan. Dia tertarik padaku dan berniat mengajakku menikah.

Sebenarnya dari awal aku tak merasa tertarik pada pria ini. Dia tidak sesuai dengan kriteria yang aku cari. Kami nggak nyambung ngobrolnya, nilai-nilainya dan banyak hal lain. Satu-satunya yang nyambung di antara kami adalah, kami sama-sama ingin berganti status. Dari status single ke status menikah.

Karena itu, aku mulai mempertimbangkan untuk menerimanya. Aku berpikir bahwa kami hanya perlu sedikit lebih saling mengenal, mungkin nanti akan tumbuh rasa cinta.

Kami mulai sering bertemu untuk lebih saling mengenal. Sayangnya, setelah kebersamaan itu aku tetap tidak merasa jatuh cinta padanya.

Tak ada hal yang membuatku masih mau bertemu dengan dia selain karena merasa bahwa usiaku sudah semakin matang dan harus segera menikah. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa dia adalah jodoh terbaik dari Tuhan sehingga aku tetap menjalankan masa penjajakan itu untuk waktu yang lebih lama.

Namun semakin lama mengenalnya, bukannya semakin yakin, aku malah semakin ragu. Beberapa kali dia bertanya akan keputusanku apakah menerima dia sebagai calon suami, namun aku belum  memberikan jawaban. Berbagai kebimbangan memenuhi pikiranku.

Apakah niatku menikah dengannya hanya untuk sebuah status? Terus habis itu apa? Aku tak tau mau ngapain dengan pria itu selanjutnya. Seperti hidupku akan berhenti dan hanya berjalan di tempat bila sudah menikah dengan dia.

Menurutku pernikahan harusnya didasari rasa cinta dan menjadi suatu tempat dimana aku dan pasangan sama-sama saling bertumbuh secara pribadi maupun sebagai keluarga.

Aku takut kalau saat itu aku menikah dengan pria yang aku tak cinta ini, bagaimana bila nanti aku ketemu dengan pria lain yang ternyata adalah cinta sejatiku? Kalau itu terjadi, aku mungkin akan menyesali keputusanku. Atau mungkin aku akan tergoda untuk selingkuh. Aku tak ingin melakukan hal itu.

Menurut keyakinanku, pernikahan adalah suatu ikatan yang sakral karena berisi perjanjian antara suami istri dengan Tuhan. Masa mau dipermainkan dengan penghianatan? Aku tak ingin menyakiti siapapun termasuk pria yang baik ini.

Satu lagi yang menjadi kekuatiranku bila aku menikah di usia yang lebih tua, kemungkinan untuk punya anak akan semakin kecil. Karena faktor usia produktif wanita yang terbatas. Aku harus mengambil keputusan segera mumpung ada yang serius ngajak nikah.

Namun aku mikir lagi, beberapa temanku yang sudah menikah di usia muda juga ada yang belum punya anak. Jadi menikah lebih awal bukan jaminan seseorang punya anak. Gimana jadinya kalau aku memaksakan diri menikah dengan pria ini biar bisa punya anak, tapi malah gak punya anak seperti mereka? Betapa sia-sia pengorbananku menikah dengan orang yang aku tak cinta.

Semua pertimbangan itu membuatku pusing karena aku juga menyadari dia adalah satu-satunya pria yang serius ngajakin aku nikah. Aku takut kalau aku menolaknya, saat umurku udah segitu, bagiamana kalau nanti tidak ada pria lain yang ngajakin nikah? Bisa-bisa aku tak menikah seumur hidup! Apa nanti kata orang? Aku sangat pusing pada apa kata orang dibanding apa kata hatiku sendiri.

Selama beberapa bulan sepanjang masa penjajakan itu, pikiranku dipenuhi dengan kebimbangan apakah harus menerima lamaran pria itu atau tidak.

Di tengah kegalauan itu, aku mendengar kabar bahwa anak tetanggaku meninggal karena sakit kanker. Anak ini masih SD dan umurnya sekitar 12 tahun. Dia dikenal sebagai anak yang baik dan penyayang. Dia bercita-cita jadi pendeta kalo udah besar nanti. Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain atas hidupnya.

Kejadian itu membuatku merasa ditegur. Aku merenungkan bahwa Anak ini masih umur 12 tahun udah dipanggil pulang oleh Tuhan. Aku saat itu berusia 32 tahun dan masih hidup. Tentulah Tuhan punya maksud dan tujuan sehingga masih mengijinkanku hidup. Kenapa aku mengisi hidupku hanya sibuk mikirin nikah? Sibuk sana sini cari jodoh, sibuk dengan pikiran yang tertekan dan galau akan apa kata orang...

Apakah hanya untuk ini aku masih dikasih umur panjang? Bukankah aku punya peran lain yang seharusnya aku lakukan?

Aku teringat kotbah seorang pendeta, yang berkata: Hidup kita adalah milik Tuhan. Tuhan punya maksud dan tujuan untuk hidup setiap orang. Ada yang dipanggil untuk menikah ada juga yang tidak. Sesuai dengan tujuan Tuhan menciptakannya. Kalau menurut Tuhan untuk mencapai tujuan itu kita perlu jodoh, maka Tuhan kasih jodoh. Kalau nggak? Yah berarti gak perlu dikasih jodoh. Fokuslah untuk mencari dan melakukan kehendak Tuhan.

Jadi aku mikir, kalau Tuhan memang memanggilku untuk menikah, tentulah Tuhan akan menyediakan pasangan yang terbaik untukku. Yang membuatku yakin untuk mengambil keputusan. Tapi kalau ternyata Tuhan tak punya rencana untuk menikahkanku, seharusnya nggak apa-apa juga. Aku akan berusaha untuk menemukan apa yang Tuhan mau aku lakukan. Hidupku adalah milik Tuhan, bukan milikku sendiri.

Dengan pengertian itu aku memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan pria tadi. Aku hanya membuang-buang waktuku dan waktunya. Aku mulai fokus pada hal lain yang lebih penting. Mencari apa yang jadi tujuan hidupku.

No comments:

Post a Comment

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya

Suatu konflik dalam rumah tangga bisa berlangsung sementara atau mengakibatkan kerusakan permanen bila disikapi dengan cara yang salah. ...