Monday, April 18, 2022

Kapan Nikah?

 


 "Kapan nya si Rosda itu nikah? Udah umur berapa belum nikah juga. Tetangga disini pada nanyain. Bikin malu aja!"

Gitu kira-kira perkataan seorang saudara di kampung yang disampaikan oleh mamakku padaku. Mamakku menyampaikannya dengan nada yang seperti setuju dengan perkataan itu. Setuju bahwa umur segitu belum menikah adalah memalukan. Ayo dong segera nikah!

Aku merasa down dan tertekan dengan perkataan itu. Waktu itu umurku sekitar 32 tahun. Sebenarnya tanpa mereka desak-desak pun aku juga ingin segera menikah. Siapa juga yang tak ingin menikah dan hidup bahagia selamanya macam di film-film itu. Aku juga udah cukup terganggu dengan pertanyaan kapan nikah hampir dari semua orang yang kutemui.

Tapi walau begitu, aku tak bisa terima perkataan yang bilang bahwa aku malu-maluin keluarga hanya karena belum nikah. Dalam benakku, apa yang memalukan dari kondisi belum nikah? Aku berusaha mengisi waktu lajang dengan melakukan hal yang baik dan produktif dan menghindari hal-hal yang secara moral umum kurang terpuji. Kenapa harus malu?

Karena desakan-desakan itu aku makin gencar melakukan usaha untuk bisa dapat jodoh. Selain minta dikenalin teman dan saudara, aku juga daftar di salah satu situs online dating khusus Kristen. Aku kenalan dan melakukan penjajakan dengan beberapa orang, tapi tak menemukan adanya kecocokan. Aku juga mengalami beberapa penolakan dari orang yang aku suka di antara mereka. Suatu proses yang cukup menyakitkan hati tapi aku tak ingin menyerah.

Waktu itu aku sempat juga dilanda kegalauan saat seorang teman mengenalkanku pada seorang pria. Pria ini umurnya sekitar 35 tahun dan sedang cari istri. Menurutku dia orangnya baik dan sopan. Dia tertarik padaku dan berniat mengajakku menikah. Walau dari awal kenal aku tak ada rasa tertarik, tapi mengingat pria ini tampak baik dan mau ngajak nikah, aku mencoba untuk lebih mengenalnya. Mungkin seiring waktu dan makin kenal aku bisa jatuh cinta.

Namun setelah beberapa kali jalan dengannya ternyata aku tetap merasa tak tertarik. Dia bukan pria yang sesuai dengan kriteria yang aku cari. Kami gak nyambung ngobrolnya, nilai-nilainya dan banyak hal lain. Aku tak menemukan alasan apapun untuk masih dekat dengannya selain karena aku ingin nikah dan berganti status.

Tapi aku pikir itu bukan motivasi yang benar untuk menikah. Hanya untuk status? Terus habis itu apa? Aku tak tau mau ngapain dengan pria itu selanjutnya. Seperti hidupku akan berhenti dan hanya berjalan di tempat bila sudah menikah dengan dia. Menurutku pernikahan harusnya didasari rasa cinta dan menjadi suatu tempat dimana aku dan pasangan sama-sama saling bertumbuh secara pribadi maupun sebagai keluarga.

Aku juga takut kalau saat itu aku menikah dengan pria yang aku tak cinta, bisa jadi suatu saat nanti aku ketemu dengan pria lain yang membuatku jatuh cinta. Kalau itu terjadi, aku mungkin akan tergoda untuk selingkuh. Tapi aku juga tak ingin melakukan hal itu. Menurut keyakinanku, pernikahan adalah suatu ikatan yang sakral karena berisi perjanjian antara suami istri dengan Tuhan. Masa mau dipermainkan dengan penghianatan? Aku juga tak ingin menyakiti siapapun. Termasuk pria yang baik ini.

Masalahnya, dia adalah satu-satunya pria yang serius ngajakin aku nikah. Aku takut kalau aku menolaknya, saat umurku udah segitu, tar gimana kalau gak ada lagi yang ngajakin nikah? Aku bisa-bisa tak menikah seumur hidup! Apa kata dunia? Keluargaku akan malu banget punya anggota keluarga yang belum nikah! Semua pertimbangan itu sangat menggalaukan pikiranku.

Di tengah kegalauan itu, ada kejadian yang akhirnya memberikanku pengertian baru. Salah satu anak tetanggaku meninggal karena suatu penyakit. Anak ini masih SD dan umurnya sekitar 12 tahun. Dia dikenal sebagai anak yang baik di antara teman-temannya. Dia bercita-cita jadi pendeta kalo udah besar nanti. Tapi Tuhan punya rencana lain. Tuhan memanggilnya pulang dan mungkin berpikir bahwa tugasnya di bumi udah selesai.

Aku merasa tertegur oleh kejadian itu. Anak ini masih umur 12 tahun udah dipanggil pulang oleh Tuhan. Aku saat itu udah 32 tahun. Tentulah Tuhan punya maksud dan tujuan sehingga masih mengijinkanku hidup sampai saat ini. Terus kenapa aku malah mengisi hidupku dengan hanya fokus mikirin nikah? Sibuk sana sini cari jodoh, sibuk dengan pikiran yang tertekan dan galau akan apa kata orang...

Apakah hanya untuk ini aku masih dikasih umur panjang? Padahal aku punya banyak peran lain juga yang aku harus lakukan.

Waktu itu aku juga dengar kotbah yang berkata, hidup kita adalah milik Tuhan. Tuhan punya maksud dan tujuan untuk hidup setiap orang. Ada yang dipanggil untuk menikah ada juga yang tidak. Sesuai dengan tujuan Tuhan menciptakannya. Kalau menurut Tuhan untuk mencapai tujuan itu kita perlu jodoh, maka Tuhan kasih jodoh. Kalau nggak? Yah berarti gak perlu dikasih jodoh. Fokuslah untuk mencari dan melakukan kehendak Tuhan.

Jadi aku mikir, kalau Tuhan memang memanggilku untuk menikah, aku percaya Tuhan akan menyediakan pasangan yang terbaik untukku. Yang membuatku yakin untuk mengambil keputusan. Tapi kalau ternyata Tuhan gak ingin aku menikah, yah gak apa-apa juga. Aku akan berusaha untuk menemukan apa yang Tuhan mau aku lakukan. Hidupku adalah milik Tuhan, bukan milikku sendiri.

Dengan pengertian itu aku gak lagi menjalin hubungan dengan pria tadi dan tak sibuk lagi nyari-nyari jodoh kesana sini. Aku fokus mengembangkan diri dengan belajar hal-hal baru, menekuni bisnis baru dan aku merasa hidupku jauh lebih menyenangkan dan lebih berarti.

Aku bersyukur bahwa Tuhan menuntunku pada pengertian yang benar dan menghindarkan aku dari keputusan yang salah. Tapi bisa jadi ada orang yang begitu takut pada apa kata orang dan terima saja saat disuruh nikah dengan seseorang yang tak sesuai dengan kata hatinya dan kemudian menyesalinya.

Dalam hal ini, menurutku seharusnya orangtua menjadi benteng terdepan untuk melindungi anaknya dari segala hal luar yang mencoba menjatuhkannya. Bukan malah  seperti "terprovokasi" untuk ikut - ikutan menjatuhkan anaknya hanya karena perkataan orang lain. Orang tua seharusnya bisa berdiri untuk membela anaknya bila ditanya orang kapan anaknya  menikah, bukan sebaliknya ikut merongrong anaknya cepat nikah hanya karena tak kuat dengan tekanan sosial. Apakah orang tua gak sedih Kalau misal anaknya nikah dan salah pilih jodoh? Hidupnya jadi menderita dan tak mencapai tujuannya? Hanya karena diburu-buru nikah biar katanya gak bikin malu keluarga.

 

Tapi aku sadar, kita tak bisa mengendalikan lidah orang lain dari berkata hal-hal yang mungkin bisa bikin kita down. Yang bisa kita kendalikan adalah reaksi kita sendiri. Apakah mau down atau cuek aja dan fokus pada apa yang benar-benar penting untuk hidup kita.

No comments:

Post a Comment

Istri yang Suka Mengeluh dan Menjelek-jelekkan Suaminya

Suatu konflik dalam rumah tangga bisa berlangsung sementara atau mengakibatkan kerusakan permanen bila disikapi dengan cara yang salah. ...